Oleh : Pramudita (Jurnalis Muka Kusam)
Bandar Lampung (BP) : Demokrasi sering disebut sebagai sistem terbaik yang ada. Tapi benarkah sistem ini tanpa cacat?. Dalam konteks pilkada langsung di Indonesia, banyak pihak mulai mempertanyakan logika di balik prinsip "satu orang, satu suara".
Bagaimana mungkin suara seorang profesor dengan wawasan mendalam dan analisis tajam memiliki bobot yang sama dengan suara seseorang yang tidak memahami implikasi pilihannya. Bahkan mungkin tidak waras?.
Prinsip dasar demokrasi adalah kesetaraan. Setiap warga negara, tanpa memandang latar belakang, diberi hak yang sama untuk menentukan pemimpin. Namun dalam praktiknya, kesetaraan ini sering kali menghasilkan paradoks.
Ketika seorang pemilih memilih berdasarkan emosi, janji populis, atau bahkan iming-iming uang, suara tersebut tetap dihitung setara dengan suara mereka yang memilih berdasarkan analisis mendalam dan pertimbangan matang.
Baca Juga :
Akibatnya, kualitas pemimpin yang terpilih sering kali tidak mencerminkan kebutuhan daerah atau masyarakat secara keseluruhan, melainkan hasil dari politik pencitraan atau permainan uang.
Salah satu kritik utama terhadap pilkada langsung adalah dominasi populisme. Kandidat yang pandai memanfaatkan media, bermain dengan sentimen massa, atau menjanjikan program-program bombastis, sering kali lebih unggul dibandingkan kandidat yang sebenarnya memiliki visi dan kemampuan nyata.
Fenomena ini menciptakan siklus mediokritas, dimana pemimpin yang terpilih bukanlah yang terbaik, melainkan yang paling populer. Demokrasi, yang seharusnya menjadi alat untuk mencapai keadilan dan kemajuan, justru menjadi alat untuk mempertahankan status quo atau bahkan kemunduran.
Baca Juga :
Beberapa pihak mengusulkan agar pilkada dikembalikan ke DPR atau lembaga perwakilan lainnya. Argumen mereka sederhana: anggota DPR dianggap lebih memahami kebutuhan daerah dan dapat memilih pemimpin berdasarkan kapasitas, bukan popularitas.
Namun, apakah ini benar-benar solusi?. Pemilihan oleh DPR juga tidak bebas dari masalah. Lobi-lobi politik, korupsi, dan negosiasi kepentingan menjadi ancaman nyata dalam sistem ini. Jika tidak diawasi dengan ketat, pemimpin yang terpilih bukanlah yang terbaik, melainkan yang paling pandai melobi atau "membayar" suara.
Daripada terus berdebat soal mekanisme pilkada, fokus seharusnya diarahkan pada pendidikan politik masyarakat. Demokrasi hanya akan menghasilkan pemimpin berkualitas jika pemilihnya juga memiliki wawasan yang baik. Tanpa pemilih yang cerdas, sistem apa pun langsung atau tidak langsung akan tetap menghasilkan pemimpin yang jauh dari harapan.
Pilkada langsung bukanlah masalah utama. Masalah sebenarnya adalah kualitas demokrasi kita, dimana suara profesor dan suara orang-orang 'gila' memang sama-sama sah, tetapi tidak seharusnya sama-sama buta. (*)