PENJARA SEBAGAI SOLUSI PELAKU KRIMINAL, EFEKTIFKAH?

PENJARA SEBAGAI SOLUSI PELAKU KRIMINAL, EFEKTIFKAH? foto ilustrasi.

Beberapa waktu belakangan ini kita dibuat prihatin oleh banyaknya berita tentang orang-orang terkenal yang terjerat kasus narkoba. Bahkan, dari kalangan pelaku entertainment ada berita menyedihkan datang dari keluarga sang ratu dangdut Indonesia, dimana 2 orang anaknya, 1 menantunya, dan 1 calon menantunya diringkus polisi sedang berpesta narkoba dikamar menantunya, ironisnya, menantunya tersebut sedang mengandung. Ada lagi berita dari seorang aktor muda yang juga terjerat kasus narkoba. Dia merupakan anak seorang penyanyi dan musisi legendaris yang juga beberapa tahun yang lalu pernah merasakan jeruji penjara akibat penyalahgunaan narkoba.

Dikalangan selebriti, sudah tidak terhitung lagi jumlah artis yang berguguran diterjang narkoba ini. Apalagi di kalangan masyarakat biasa yang bisa jadi mereka bukan kalangan berduit yang bisa mengkonsumsi narkoba yang berharga mahal, namun mereka adalah pengguna atau bahkan sebagiannya menjadikan narkoba sebagai sumber mata pencaharian mereka. Hal ini bisa dibuktikan dengan salah satunya berkunjung ke Rumah Tahanan.

Saya sempat berkunjung ke Rumah Tahanan Polresta Bandar Lampung beberapa hari yang lalu, disana saya melihat banyak hal yang membuat hati saya berkecamuk dengan berbagai rasa, mulai dari sedih, marah, kecewa dan juga bingung. Saya melihat papan tulis tergantung di dinding ruang jaga polisi di depan deretan sel tahanan. Disana tercantum daftar kasus dan jumlah tahanan. Ada 141 kasus, dengan rincian 92 kasus Narkoba dan sisanya kasus tindak kriminal lainnya. Yang membuat hati saya terluka, dari 141 pelaku tindak kriminal tersebut, ada 20 wanita dan 1 anak dibawah umur.

Namun begitu, pemandangan di rumah tahanan itu justru membuat saya kecewa. Saya tidak menemukan para tahanan itu bersedih, atau menyesali keadaan mereka. Yang saya lihat mereka justru merasa baik-baik saja, tidak terlihat wajah-wajah penuh rasa bersalah dan berdosa, tidak terdengar rintihan tangis dan penyesalan mereka kepada keluarga atau kerabat yang menjenguk mereka. Bahkan, disana saya melihat mereka justru bertambah nyaman, seperti menyatu dengan tempat itu dan menemukan komunitas baru yang membuat mereka bahagia, disana mereka bernyanyi bersama bersuka cita, saling bersenda gurau sesamanya. Bahkan dari banyak fakta kita juga mengetahui para narapidana tetap bisa melakukan transaksi narkoba dari balik jeruji besinya.

Ancaman hukuman yang mereka hadapi, justru tidak disikapi dengan rasa takut dan berupaya berubah menjadi lebih baik dikemudian hari. Saya justru menyaksikan mereka berupaya menyusun rencana bagaimana agar bisa segera keluar dari tempat tersebut dengan cara apapun, bahkan hingga melakukan penyuapan dalam persidangan, atau meminta mencari “orang dalam” yang bisa diajak kompromi untuk bisa segera keluar dari rumah tahanan tersebut. Alih-alih menerima hukuman tersebut dan menjadikan itu sebagai momentum perubahan menjadi pribadi lebih baik, mereka justru mengupayakan hal-hal lain yang juga menyalahi hukum baik hukum negara maupun hukum agama.

Jika mereka merasa nyaman berada di balik jeruji, lantas bagaimana bisa kita berharap para pelaku tindak kejahatan tersebut akan berubah, bertaubat dan jumlahnya akan berkurang?. Jika satu-satunya perbedaan dengan kehidupan diluar penjara hanyalah raga mereka yang terkurung dalam kamar-kamar berterali besi, sementara segala aktifitas lainnya tetap seperti dirumah masing-masing. Lalu apa yang bisa menjamin mereka tidak akan mengulangi lagi perbuatan mereka setelah keluar dari penjara?

Inilah bukti gagalnya penerapan sistem hukum di negeri ini. Hukumnya gagal memberi efek jera bagi para pelaku kejahatan, hukum yang bisa dibeli dengan uang, hukum yang bisa “dinikmati” bukan ditakuti. Sedangkan didalam Islam, bagi para pelaku kejahatan ada hukuman yang beragam jenisnya dan tingkatannya. Tidak semua pelaku kejahatan dikumpulkan dalam ruangan bernama penjara. Untuk pengguna miras dan narkoba berlaku Ta’zir (hukuman yang ditetapkan oleh kepala Negara berdasarkan tingkat penyalahgunaannya mulai dari cambuk, penjara ataupun denda). Untuk pelaku penganiayaan atau pembunuhan ada hukum Qishash (balas) dimana keluarga korban bisa menuntut pelaku untuk merasakan serupa dengan yang dirasakan korban, atau jika keluarga korban merelakan maka pelaku dikenakan kewajiban membayar Dhiyat (ganti rugi) yang nilainya sangat besar. Untuk pelaku pencurian, korupsi, perampokan atau pembegalan ada hukuman potong tangan atau potong silang tangan dan kaki tergantung besarnya nilai harta yang dicuri atau dibegal. Untuk pelaku kejahatan seksual, perzinahan, ataupun perilaku penyimpangan seksual diberlakukan hukum cambuk, atau rajam hingga hukuman mati tergantung jenis kejahatan seksual yang dilakukan. Semua bentuk hukuman tersebut tentu saja menimbulkan rasa takut berbuat kesalahan bagi masyarakat luas sehingga tercegah dari melakukan kejahatan, sekaligus meninggalkan rasa “kapok” dan tidak ingin mengulangi bagi para pelaku.

Begitulah Islam menyediakan seperangkat hukuman bagi berbagai jenis tindak kejahatan. Tetapi semua hukuman itu dilaksanakan setelah mengoptimalkan berbagai penerapan aturan yang menjamin semua pelanggaran dan kejahatan tersebut tidak terjadi. Berbeda dengan hukum yang berlaku saat ini, tidak diawali dengan pencegahan yang optimal dan mengakar. Dan setelah terjadi pelanggaran pun, hukuman yang diterapkan bukanlah hukuman yang bersifat mencegah bagi orang lain, dan memberi efek jera bagi pelaku. Malah, hukuman yang ada berpeluang membuat pelaku mengulangi kesalahannya lagi. Sudah saatnya kita beralih ke sistem hukum Islam yang efektif mengatasi berbagai kriminalitas.

Ditulis oleh : Nur’aini

Ibu Rumah Tangga – di Bandar Lampung.


 


Bintangpost.com

Reporter bintangsaburai.com region Bandar Lampung.

Administrator

bintangsaburai.com

Leave a Comment