BINTANGPOST: Bencana tsunami Selat Sunda yang mengempas wilayah Provinsi Banten bagian selatan dan Kabupaten Lampung Selatan Sabtu (22/12/18) malam lalu sempat menimbulkan polemik dan perdebatan.
Awalnya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut kejadian itu sebagai gelombang tinggi yang disebabkan adanya bulan purnama yang menimbulkan gaya gravitasi tertentu.
Namun, BMKG kemudian merevisi pernyataannya dan mengubah gelombang tinggi menjadi tsunami setelah melakukan serangkaian analisis.Beda pernyataan ini terjadi karena fenomena yang cukup membingungkan, perpaduan antara gaya gravitasi bulan purnama dan erupsi Gunung Anak Krakatau di tengah Selat Sunda.
Memang, gelombang yang dihasilkan jauh lebih kecil daripada yang terjadi selama letusan Krakatau 1883 sekitar 15 meter. Hipotesis mematikan dari reruntuhan Anak Krakatau di atas dapat dicegah dengan adanya deteksi cepat keruntuhan oleh observatorium gunung berapi dan sistem peringatan yang efisien di pantai.
Kehandalan sistem peringatan dini ini sudah mengemuka dua hari setelah tsunami menerjang Banten dan Lampung. Pemicunya adalah instruksi presiden Jokowi agar BMKG membeli alat deteksi dini tsunami secepatnya.
"Ke depan saya sudah perintahkan juga ke BMKG untuk membeli alat2 early warning system.," demikian Jokowi seperti dikutip banyak media.
Duka mendalam bagi masyarakat Indonesia masih terasa hingga saat ini. Evakuasi para korban dampak bencana Tsunami di Selat Sunda masih terus dilakukan. Ratusan nyawa melayang, ribuan diantaranya alami luka dan juga masih hilang.
Bahkan awalnya muncul polemik dari BMKG yang menyebut kejadian itu sebagai gelombang tinggi yang disebabkan adanya bulan purnama yang menimbulkan gaya gravitasi tertentu.
Padahal, menurut BMKG, Indonesia merupakan kawasan kepulauan yang memilikipotensi tsunami cukup tinggi, terutama bagi daerah-daerah yang menjadi titik pertemuan lempeng Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik. Nah, jadi apa yang membedakan antara kedua jenis gelombang tersebut?
Dalam konferensi pers tsunami Selat Sunda di Yogyakarta, Minggu (23/12/18), Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho menyampaikan beberapa perbedaan mendasar antara gelombang tinggi dan gelombang tsunami. Gelombang tinggi karena tiupan angin terjadi secara perlahan dan dengan tanda-tanda bisa diprediksi sebelumnya, misalnya perubahan ekstem sebelum kejadian.
BMKG pun rutin mengeluarkan peringatan gelombang tinggi di berbagai daerah jika memang diprediksi akan terjadi. Namun tidak dengan tsunami yang kejadiannya tidak dapat diprediksi dan mendadak. Gelombang pasang tidak terjadi seketika, tapi secara pelan. Kalau tsunami, Terjadi tiba-tiba sekali, tidak ada pertanda.
Gelombang tsunami disertai dengan kekuatan dorong yang besar, berbeda dengan gelombang tinggi yang kekuatannya berdasarkan angin. Hal ini menyebabkan gelombang tsunami memiliki sifat destruktif atau merusak yang lebih besar ketika sudah sampai di daratan dibandingkan dengan gelombang tinggi yang disebabkan oleh angin.
Terakhir, gelombang karena angin hanya terjadi di permukaan saja, sementara gelombang tsunami terjadi dari bagian dalam laut.
Hal itu karena adanya pergerakan lempeng atau dasar lautan yang terjadi secara tiba-tiba sehingga menyebabkan adanya dorongan gelombang dari dalam. Dan yang penting, jangan ada Polemik Tsunami di Selat Sunda.(aap).