BINTANGPOST: Hingga bulan November 2018, ada 37 Kepala Daerah yang tertangkap tangan KPK termasuk didalamnya Bupati Lampung selatan Zulkifli Hasan. Dalam Operasi Tangkap Tangan tersebut penyidik KPK mengamankan sejumlah orang termasuk, Kepala Dinas, anggota DPRD dan pihak swasta. Operasi Tangkap Tangan KPK berlangsung 26 Juli hingga 27 Juli dini hari. Dalam operasi di sebuah hotel di Bandar Lampung, disana ada Ketua Fraksi PAN DPRD Lampung dan sejumlah Kepala Dinas Lampung Selatan.
Dan kini sampailah pada babak baru. Tujuh Desember lalu Bupati Lampung Selatan nonaktif Zainudin Hasan dipindah selnya dari Rutan KPK ke Lapas Kelas 1 Rajabasa Bandarlampung. Pemindahan adik Ketua MPR Zulkifli Hasan itu berkaitan dengan persidangannya yang segera digelar di Pengadilan Tipikor Lampung. Sebelumnya KPK telah melakukan pemindahan penahanan terhadap anggota DPRD Provinsi Lampung, ABN, serta Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kabupaten Lampung Selatan AA. Persidangan untuk BN dan AA akan dilakukan pada hari Kamis, 13 Desember 2018. Sedangkan jadwal persidangan untuk ZH pada 16 Desember 2016.
Dalam kasus suap, Zainudin diduga mendapatkan imbalan berupa fee proyek sebesar 10-17 persen di lingkungan Dinas PUPR Kabupaten Lampung Selatan. Tersangka lain yang juga menyandang status tersangka adalah GR dari CV 9 Naga. KPK juga menelusuri aliran duit 57 miliar rupiah dalam kasus dugaan suap ke Zainudin. Duit itu diduga dari sejumlah proyek sejak 2016 hingga 2018.
Wal hasil, Pemerintah dan KPK terus berupaya melakukan pencegahan Tindak Pidana Korupsi ini, khususnya Kepala Daerah. Konon, Pemerintah, melalui Kementerian Keuangan sedang mengkaji penyesuaian nominal remunerasi kepala daerah di Indonesia. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan alasan di balik kajian tersebut, Masih banyaknya pejabat selevel kepala daerah yang tersandung kasus korupsi dan harus berhubungan dengan KPK.
Namun, ada keraguan dari publik mengenai seberapa efektif kebijakan kenaikan remunerasi dalam menekan angka praktik korupsi para kepala daerah. Selain itu, apakah banyaknya kepala daerah yang berurusan dengan KPK dapat menjadi motif yang tepat bagi pemerintah untuk mengevaluasi nominal remunerasi?
Sejatinya, mencegah korupsi itu mencari akar permasalahan penyebabnya korupsi. Apa lagi menyangkut korupsi seorang kepala daerah, karena perbuatan tersebut sangat bersifat kolektif. Hampir rerata kepala daerah yang tersangkut korupsi, karena berkaitan dengan perilaku anggota legislatif butuh uang ketok palu.
Pengesahan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD), selalu diwarna tarik menarik antara DPRD dan Pemerintah Daerah, sehingga untuk memuluskan pengesahan tersebut, maka terjadilah transaksi ketok palu. Memang tidak semua kepala daerah mau melakukan itu, tapi tidak sedikit yang terjebak dalam transaksi tersebut.
Illustrasi tadi salah satu sebab terjadinya korupsi bagi seorang kepala daerah. Peluang korupsi lainnya terjadi dari transaksi komisi proyek, sebagai pemegang kebijakan, jelas seorang kepala daerah mudah terjebak oleh para kontraktor penerima proyek.
Pencegahannya, harus dipersempit peluang untuk terjadinya kasus tersebut, bukan menaikkan remunerasi. Perbaiki kinerja anggota Legislatif, dan itu adalah tanggung jawab masyarakat dan Partai Politik. Partai Politik Juga punya andil dalam terjadinya kasus korupsi, tidak sedikit Partai Politik yang mewajibkan bagi kadernya untuk memberi upeti bagi Partai dan petinggi Partai. Ya tentu kita semua setuju Cegah Korupsi hilangkan Upeti, Bukan naikkan Remunerasi. (aap)