Oleh : Pramudita (Wartawan bermuka kusam)
Bandarlampung (BP) : Di kedalaman samudra, kehidupan ikan tak pernah berhenti bergerak. Arus laut yang deras, gelombang yang menghantam, dan predator yang terus mengintai, membuat setiap ikan harus terus waspada. Mereka berenang dalam formasi, mengelak bahaya, dan bertahan hidup di tengah ketidakpastian. Disana juga ada yang kecil tapi gesit, ada yang besar tapi lamban, dan ada yang licik dengan berbagai strategi untuk sekadar bertahan hidup.
Seekor ikan pari, dengan gerakan anggun dan penuh perhitungan, mengamati pergerakan sekelompok ikan kecil yang selalu berenang bersama. Mereka tampak saling melindungi, seolah tahu bahwa kekuatan mereka ada pada jumlah. Namun, si pari tahu, di balik kebersamaan itu, ada ketakutan akan ancaman dari luar, dari hiu, dari predator yang lebih besar.
Sementara itu, si ikan hiu raja laut yang kuat dan buas, terus bergerak bebas, seakan tidak ada yang bisa menghentikannya. Dalam sekejap, ia melahap sekelompok ikan kecil yang ceroboh.
Bagi si pari, kehidupan di laut seperti permainan tak berujung. Bukan soal siapa yang paling kuat atau paling cepat, tetapi soal siapa yang bisa beradaptasi. Di sinilah seni bertarung ala ikan: tahu kapan harus menyerang, kapan harus bertahan, dan kapan harus bersembunyi. Setiap gerakan diatur oleh naluri bertahan hidup.
Fenomena ini begitu mirip dengan kehidupan manusia. Di atas daratan, manusia sibuk membangun dunianya sendiri. Dunia politik, ekonomi, dan gaya hidup manusia tampak megah dan terstruktur, namun di balik itu semua, setiap individu atau kelompok sedang bertarung—sama seperti ikan di laut.
Dalam politik, misalnya, para pemimpin seperti ikan hiu; mereka kuat, memiliki kuasa, dan sering kali bergerak tanpa henti demi mempertahankan posisi teratas. Mereka melahap lawan-lawannya, yang kadang terlihat seperti ikan kecil atau rapuh dan terombang-ambing oleh arus politik yang besar.
Baca Juga :
Di dunia ekonomi, kehidupan manusia tak jauh berbeda. Perusahaan-perusahaan besar seperti hiu, menguasai pasar dengan kekuatannya, sementara usaha-usaha kecil, seperti ikan kecil di lautan, berusaha tetap bertahan di tengah persaingan yang ketat. Mereka sering kali berenang bersama, saling mengandalkan satu sama lain agar tidak terjebak dalam pusaran ekonomi yang mengancam untuk menelan mereka.
Sementara itu, gaya hidup manusia mencerminkan pola bertahan hidup yang cerdik. Manusia terus mencari cara untuk beradaptasi di tengah perubahan sosial yang cepat. Ada yang memilih menjadi seperti pari, bergerak anggun dan hati-hati, tidak terlalu menonjol, tetapi selalu siap dengan strategi. Ada pula yang memilih untuk mengikuti arus, seperti ikan-ikan kecil, berharap kebersamaan akan menjadi perisai dari ancaman besar.
Namun di tengah semua ini, baik ikan di laut maupun manusia di daratan, satu hal yang pasti, semua sedang berjuang. Dalam kehidupan laut, ikan tidak bisa diam, mereka harus terus bergerak agar bisa hidup. Demikian pula dengan manusia, mereka harus terus bergerak, mencari peluang, dan beradaptasi dalam setiap tantangan yang datang. Politik, ekonomi, gaya hidup, semuanya adalah arus yang tak bisa dihentikan.
Pada akhirnya, baik di laut maupun di darat, yang bertahan bukanlah yang paling kuat, tetapi yang paling cerdik, yang tahu kapan harus bertarung dan kapan harus mengikuti arus. Seperti ikan pari yang menghindar di saat yang tepat, seperti ikan kecil yang berenang bersama untuk bertahan, atau seperti hiu yang terus memburu demi kekuasaan hidup, di mana pun itu, adalah seni bertarung yang tak pernah selesai.
Dan begitulah, manusia dan ikan sebenarnya tak berbeda. Mereka bertarung di medan yang berbeda, tapi prinsipnya sama, bertahan atau tergerus oleh arus. (*)