BINTANGPOST : Musim penghujan. Kerusakan jalan di Provinsi Lampung makin parah. Jalan Soekarno Hatta baypass, meski berstatus jalan nasional, kondisinya tetap saja rusak parah. Di kabupaten Lampung selatan, ada 132 ruas jalan yang rusak. Jumlah yang tersebar di 12 kecamatan, sejak proyek jalan tol dimulai. Bahkan jalan provinsinya yang berada di wilayah Sidomulyo lampung selatan, di musim penghujan tergenang layaknya danau.
Metro- kota gajah, ruas jalannya juga rusak parah. Lampung timur, bahkan telah rusak bertahun-tahun dan belum ada perbaikan. Di Pesawaran, jalan provinsi, kabupaten maupun lingkungannya, rusak kembali setelah diperbaiki beberapa bulan.
Lalu, jalan lintas sumatera (Jalintim), yang menjadi salah satu jalur penghubung provinsi Lampung dan provinsi sumatera selatan, lubangnya tersebar merata di badan jalan dan kondisinya dalam. Adapun Bandar lampung dan kabupaten kota sisanya, tak jauh berbeda kondisi jalannya.
Ada banyak faktor penyebab kerusakan jalan. Kualitas jalan yang buruk, drainasenya tidak ada, bobot kendaraan yang melaluinya melebihi kapasitas, jalannya sudah lama tidak diperbaiki. Ditambah tibanya musim penghujan, klop. Kerusakan jalan parah takterhindarkan lagi.
Mengenai kualitas jalan yang buruk. Sudah bukan rahasia lagi. Pertanyaannya, tidak adakah insinyur yang mampu membangun jalan di Lampung dengan kualitas terbaik? Jawabnya banyak. Namun, persoalan buruknya kualitas jalan, bukan pada ada tidaknya insinyur dengan kapasitas tersebut.
Ruas jalan di Lampung tidak dibangun dengan kualitas terbaik, karena pembangunannya dilakukan, semata sebagai bentuk pertukaran politik. Para calon kepala daerah berlomba-lomba menawarkan janji-janji pembangunan infrastruktur jalan, demi meraup suara terbanyak dari rakyat.
Dan ketika benar ia terpilih, proyek pembangunan jalan pun tak jarang menjadi bancakan para pengusaha, yang selama ini memodali kampanyenya. Wajar, kualitasnya sebatas cukup; sekedar untuk mendapatkan citra positif demi kembali terpilih di putaran pemilu berikutnya.
Selanjutnya, mengenai tidak adanya drainase atau tidak berfungsinya drainase; ketiadaannya tak perlu dipertanyakan lagi. Wong jalan saja dibangun dengan kualitas seadanya, Apalagi drainase, tentu sangat jauh dari prioritas pembangunan. Karena drainase sendiri hanya sekedar sarana pelengkap.
Maka, kualitas jalan yang buruk, tanpa drainase, di musim penghujan adalah kombinasi yang pas yang menghasilkan kerusakan jalan dengan sangat cepat. Ditambah, jumlah kendaraan yang melaluinya banyak, bobotnya pun melebihi kapasitas jalan; maka kerusakan jalan pun menjadi lebih parah lagi.
Mengenai bobot kendaraan yang melebihi kapasitas jalan, sebagian masyarakat menawarkan solusi, agar memfungsikan kembali jembatan timbang. Solusi ini tidak tepat. Sebab solusi terpenting persoalan ini, justru dengan cara menurunkan harga bahan bakar kendaraan pada tingkat terendah. Karena harga BBM yang rendah akan menekan biaya transportasi secara otomatis.
Lalu, dengan biaya angkut yang rendah, para pengusaha angkutan, dengan sendirinya akan mengurangi volume barang yang diangkutnya. Sebab, mengangkut secara berlebihan, seperti yang banyak dipraktekkan saat ini, selain menyebabkan cepatnya kendaraan menjadi rusak, juga membahayakan kendaraan saat melaju di jalanan.
Seorang pengusaha transportasi tentu akan berhitung realistis dalam hal ini. Lebih menguntungkan memeperbanyak trip angkutan, dibanding memaksakan mengangkut banyak barang dalam satu kali angkutan.
Saat ini, kondisi yang kita hadapi justeru berkebalikan. Harga BBM kita tinggi, memicu biaya angkut yang tinggi. Masuk akal, demi menjaga agar harga barang yang didistribusi tidak ikut naik tinggi, maka para pengusaha angkutan, terpaksa memuat sebanyak mungkin barang dalam satu kali angkutan. Caranya, dengan memodifikasi truk-truk angkutan barang, menjadi lebih tinggi dan lebih panjang dari ukuran normal. menimbulkan bahaya di jalanan, kendaraan-kendaraan semacam ini juga memperparah kerusakan jalan.
Dalam kondisi ini, efektifkah memfungsikan jembatan timbang? Tentu saja tidak. Karena bagi mereka, membayar pungli jauh lebih hemat. Maka, memaksakan memfungsikan jembatan timbang untuk memecahkan persoalan ini, justeru akan menghasilkan suburnya pungli di jalan.
Maka satu-satunya cara untuk mengendalikan kendaraan yang melewati jalan benar-benar sesuai kapasitas jalan, satu-satunya cara hanyalah dengan menurunkan serendah-rendahnya harga BBM.
Inilah faktor-faktor yang mempengaruhi rusak parahnya ruas jalan di hampir seluruh wilayah di provinsi Lampung. Dan persoalan ini harus diatasi tuntas, mengingat jalan-jalan tersebut adalah urat nadi perekonomian masyarakat.
Lalu, bagaimana Islam mengatasi persoalan ini? Pertama, islam tidak menjadikan pembangunan jalan sebagai pertukaran politik. Tapi sebuah bentuk ibadah seorang penguasa kepada Allah. Maka,tujuan ibadah akan mendorongnya membangun jalan dengan kualitas terbaik, demi memberi pelayanan terbaik untuk rakyat; yang dengan itu ia peroleh pahala yang besar di sisi Allah. Para penguasa islam yaitu para khalifah, tercatat dalam tinta emas sejarah, sangat memperhatikan pembangunan jalan dengan kualitas terbaik.
Umar bin Khattab bahkan pernah bertutur, “Andaikan seekor keledai terperosok di kota Baghdad karena jalanan rusak, aku sangat khawatir, pasti akan ditanya oleh Allah ta’ala, mengapa kamu tidak meratakan jalan untuknya.” Bagdad, sebuah kota yang terletak jauh di arah timur laut dari Madinah, tapi tetap menjadi perhatian khalifah. Bahkan bukan hanya manusia yang ia khawatiri keselamatannya, seekor keledai pun ia khawatiri. Padahal keledai adalah hewan yang terkenal akan kebodohannya.
Kedua, Negara yang menerapkan islam (khilafah) akan menerapkan sistem ekonomi islam yang mumpuni. Sistem ini mengharuskan seluruh sumber daya alam (SDA) termasuk tambang-tambang minyak, dikelola langsung oleh Negara dan hasilnya untuk memenuhi kebutuhan minyak masyarakat. Meski, Negara boleh memberi harga untuk minyak tersebut, akan tetapi Negara wajib memberi harga terendah, sekedar kecukupan untuk biaya eksplorasi, pemurnian dan distribusi. Bukan menjual kepada rakyat dengan harga dunia sebagaimana saat ini.
Ketiga, karena dalam islam pengelolaan SDA tidak diserahkan kepada asing, maka Negara khilafah akan memiliki cukup dana untuk mewujudkan pembangunan jalan dengan kualitas terbaik beserta kelengkapannya (drainase, lampu jalan, rambu lalu lintas, rest area dll). Sesuatu yang tidak mungkin dimiliki oleh sistem saat ini yang menjadikan pengelolaan SDA justru berada di tangan asing dan aseng. Wallahua’lam.(aap).