Kalau Belum Jadi Pejabat, Tak Usah Banyak Komentar?

Kalau Belum Jadi Pejabat, Tak Usah Banyak Komentar? Foto. Ilustrasi (Net).

Oleh: Kiowo (Entitas gelap)

Bintangpost --- Sebagai jurnalis dan mahasiswa sekolah pascasarjana sering mendengar kalimat seperti ini: “Kalau belum pernah duduk di kursi pemerintahan, jangan sok tahu. Tidak tahu beratnya.” Kalimat semacam ini biasanya datang dari mereka yang merasa “lebih tahu karena sudah di dalam sistem.” Dan setiap kali mendengarnya, saya tergelitik. Jijik lebih tepatnya.

Memang benar, mengelola negara tidak mudah. Kompleksitasnya luar biasa, apalagi dengan tumpukan persoalan dari hulu ke hilir. Tapi bukan berarti rakyat tak boleh bicara. Justru, dari suara rakyatlah yang sering dianggap tak tahu apa-apa negara bisa dikoreksi.

Mari kita pakai data, bukan sekadar asumsi. Indonesia punya masalah serius dalam hal tata kelola pemerintahan. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2023 hanya 34 dari 100 (Transparency International). Itu artinya, kita masih berada di zona merah. Bahkan lebih rendah dari Timor Leste (42). Ini bukan opini. Ini fakta.

Lalu, apakah rakyat yang mengeluhkan korupsi itu bisa disebut apatis atau pembenci negara? Apakah harus punya gelar menteri dulu untuk sekadar merasa muak melihat kepala daerah ditangkap satu per satu oleh KPK?

Lembaga Survei Indonesia tahun 2022 menunjukkan hanya 38 persen warga yang puas terhadap layanan birokrasi. Artinya, lebih dari separuh warga merasa negara tidak hadir dengan layak di ruang-ruang pelayanan publik. Kita mengurus KTP masih lama. Mengurus izin usaha kecil pun bisa menguras tabungan dan tenaga. Apakah kita harus jadi pejabat dulu baru boleh kecewa?

Lucunya, ketika rakyat bersuara, justru sering dituduh sebagai pengganggu. Dituduh pesimis, tidak nasionalis, bahkan disarankan pindah negara. Padahal, justru suara-suara itulah bentuk cinta. Kritik adalah upaya merawat. Jika rakyat berhenti bersuara, yang tersisa hanya tepuk tangan palsu yang membuat kekuasaan mabuk pujian.

Menariknya, yang menyuruh rakyat diam ini sering lupa bahwa kebijakan publik adalah kontrak sosial. Rakyat membayar pajak, menyumbang suara, dan patuh pada hukum. Sebagai balasannya, mereka berhak bertanya: ke mana uang pajak itu pergi? Kenapa jalan rusak tak kunjung diperbaiki? Mengapa harga bahan pokok naik tapi gaji tak ikut naik?

Demokrasi bukan hanya soal pemilu tiap lima tahun. Demokrasi adalah ruang hidup, ruang bicara, ruang berdebat. Bahkan ruang mencaci, jika itu masih dalam batas wajar dan bertujuan membongkar kebusukan.

Jadi, berhentilah menganggap rakyat bodoh hanya karena mereka tidak duduk di kursi kekuasaan. Karena justru dari luar kursi itulah, kita bisa melihat dengan lebih jernih siapa yang benar-benar bekerja, dan siapa yang hanya menikmati fasilitas tanpa hasil.

Jangan khawatir, rakyat tak minta semua pejabat sempurna. Rakyat hanya ingin tahu: apakah pejabat itu benar-benar bekerja, atau hanya pandai menyuruh orang lain diam.

Sebagai jurnalis dan mahasiswa sekolah pascasarjana saya merasa was-was, apakah tulisan ini membuat orang lain yang bukan pemerintah marah?

Salom.







Bintangpost.com

Reporter bintangsaburai.com region Bandar Lampung.

Administrator

bintangsaburai.com

Leave a Comment