Oleh: LisaMukhlisah
Bintangpost : Di Kabupaten Mesuji bahwa faktor ekonomi dan perselingkuhan menjadi penyebab utama perceraian. Panitera Pengganti Pengadilan Agama Mesuji Imanudin Tenda mengatakan, jika perceraian didominasi rentang usia antara 24-33 tahun. Untuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) itu hanya pemantik dari faktor utama, yakni faktor ekonomi maupun perselingkuhan.
Imanudin pun menambahkan, jika pihaknya tidak dengan mudah memberikan dispensasi pernikahan anak. "Selain bertentangan dengan Undang-undang (UU), kami juga melihat masih belum siapnya pasangan di bawah umur untuk menjalin rumah tangga," kata Imanudin, kepada awak media beberapa waktu lalu.
Besarnya guncangan pada institusi pernikahan saat ini sesungguhnya tidak lepas dari sistem sekuler kapitalisme yang melingkupi masyarakat. Sistem ini telah melahirkan seperangkat pemikiran yang memengaruhi pola pikir pasangan suami istri, salah satunya melalui konsep berpikir feminisme yang kerap mendudukkan perempuan sebagai pihak tertindas. Alhasil, sensitivitas feminisme yang kerap didengungkan hadir dan menjadi spirit dalam berbagai regulasi.
Lucunya, problem ekonomi yang muncul akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme luput dari penelaahan para feminis. Alih-alih menelaah akar masalah kemiskinan, mereka justru sibuk mempermasalahkan ketimpangan gender yang terjadi di dunia kerja.
Baca Juga :
http://bintangpost.com/read/8283/akibat-pergaulan-bebas-hivaids-pada-anak-masih-tinggi
Sedangkan jika kita merunut akar masalahnya, akan terlihat bahwa problem mendasarnya adalah penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang menciptakan kesenjangan ekstrem antara si kaya dan si miskin. Penguasaan kekayaan oleh segelintir orang telah berdampak pada kemiskinan di masyarakat.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, para perempuan terpaksa keluar rumah dan berjibaku untuk menopang ekonomi keluarga. Tentu saja, tempat kerja yang tidak ramah dan sistem pergaulan yang rawan godaan telah berkontribusi pada rapuhnya rumah tangga. Perselingkuhan seakan menjadi drama harian yang tersaji di pemberitaan media. Sementara itu, industri gaya hidup yang terus merangsek masuk dalam institusi keluarga telah menggeser pemahaman mengenai keinginan dan kebutuhan dalam rumah tangga.
Konsumerisme juga terus menggejala. Tuntutan gaya hidup tidak sedikit membuat kaum perempuan lapar mata, padahal penghasilan suami pas-pasan saja. Alhasil, cekcok pun menjadi rutinitas biasa. Parahnya, konsep-konsep kesetaraan gender seakan menjadi bensin yang makin mengobarkan prahara rumah tangga.
Akhirnya, KDRT menjadi celah untuk mengeksploitasi lemahnya perempuan hingga ide kesetaraan gender menemukan celah. Bak pahlawan, kaum feminis berdalih bahwa KDRT marak karena kurangnya kemandirian ekonomi perempuan. Oleh karenanya, mereka memandang solusi idealnya adalah melalui pemberdayaan, padahal akar masalahnya bersifat kompleks dan bukan karena tiadanya kesetaraan.
Di sisi lain, tata pergaulan yang serba bebas, ditambah kondisi rumah tangga yang kian jauh dari harmonis, telah mendorong para suami terlibat dalam hubungan yang melanggar syariat. Lemahnya pemahaman awal saat hendak membina rumah tangga acapkali membuat pasangan suami istri menjalankan biduk rumah tangga tanpa bekal ilmu.
Baca Juga :
https://bintangpost.com/read/8433/jaminan-kesehatan-adalah-hak-seluruh-rakyat
http://bintangpost.com/read/8339/solusi-islam-mengatasi-kemiskinan
Membentuk rumah tangga sesungguhnya merupakan bagian dari syariat. Untuk itu, Allah menggariskan sejumlah hukum agar dalam menjalankan biduk rumah tangga senantiasa dalam petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Allah membebankan kewajiban kepada laki-laki sebagai pemimpin (qawwam) dan kaum perempuan sebagai ummu wa rabbatul bayt.
Kewajiban ini merujuk pada syariat yang Allah tetapkan. Allah SWT berfirman, “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita).” (QS An-Nisâ: 34).
Lalu hadis dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Kalian semua adalah pemimpin dan kalian semua akan diminta pertanggungjawaban, seorang imam adalah pemimpin dan ia nanti akan diminta pertanggungjawaban, seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya dan ia nanti akan diminta pertanggung jawabannya, seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan ia nanti akan diminta pertanggungjawabannya.”
Laki-laki maupun perempuan, keduanya wajib memahami konsekuensi dari amanah yang Allah tetapkan di pundak masing-masing. Tidak sibuk menuntut hak karena kewajiban keduanya telah dipahami satu sama lain. Ini karena lalai terhadap kewajiban berarti pembangkangan terhadap syariat.
Sementara itu, negara berperan besar dalam menyiapkan warganya untuk memasuki jenjang pernikahan. Jika yang ditakutkan saat ini karena kurangnya ilmu, dalam masa Kekhalifahan Islam, negara akan aktif melakukan edukasi mengenai pernikahan. Di dalamnya tentu meliputi berbagai hal yang berkaitan dengan aspek rumah tangga, seperti membangun hubungan suami istri, pola asuh, pemenuhan gizi keluarga, ekonomi keluarga, dan lain-lain.
Islam sangat memahami bahwa rumah tangga berperan besar dalam menjamin keberlangsungan peradaban. Ini karena setiap keluarga terintegrasi dengan tanggung jawab masa depan bangsa dan negara, bahkan peradaban manusia.
Masalah yang terjadi hari ini menjadi kompleks karena sistem kehidupan yang sedang berjalan. Rumah tangga dihadapkan pada sistem sosial yang amburadul, sistem ekonomi yang tidak manusiawi, juga sistem hukum yang berlandaskan pada nilai kebebasan. Sistem politik pun demikian, berlandaskan pada akal pikir manusia, sedangkan syariat Islam seputar pernikahan dan rumah tangga bersifat parsial semata.
Dengan demikian, selama konsep-konsep sekuler kapitalisme ini berlangsung, institusi pernikahan akan terus menghadapi guncangan. Tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan institusi rumah tangga selain kembali pada syariat-Nya secara kaffah.
Wallahu'alam