Oleh : Putri Cakrawaty Sianturi
BINTANGPOST : Rencana kenaikan BPJS yang dikemukakan baru-baru ini membuat publik kembali mengelus dada. Betapa tidak, ditengah ketakutan masyarakat akan wabah Covid-19 yang semakin meluas dan himpitan ekonomi yang terjadi karena roda ekonomi dan mati suri, wacana kenaikan BPJS ibarat menyiram air garam pada luka rakyat.
Peraturan Presiden No.64 tahun 2020 tentang perubahan kedua atas Perpres No.82 tahun 2018 tentang jaminan kesehatan memuat hal kenaikan BPJS ini. Menurut Perpres No.82/2018 besar iuran ditetapkan sebesar Rp.25.000 untuk kelas III, Rp.51.000 untuk kelas II, untuk kelas I Rp.80.000 melalui Perpres No.75/2019 mengalami kenaikan menjadi Rp.42.000 untuk kelas III, Rp.110.000 untuk kelas II, dan Rp.160.000 Untuk kelas I.
Sedangkan pada Perpres No.64/2020 ada variasi kenaikan iuran. Kelas III (khusus untuk tahun 2020) masih tetap Rp. 25.500, dua tahun berikutnya naik menjadi Rp. 35.000, untuk kelas II naik menjadi Rp.100.000 dan kelas 1 naik menjadi Rp.150.000. Kenaikan ini berlaku bulan Juni tahun 2020.
Dalam kebijakan menaikkan BPJS disaat pendemi setidaknya ada tiga hal yang harus diperhatikan:
Pertama, Kebijakan ini minus empati. Betapa tidak, saat masyarakat mengalami keterpurukan di segala bidang, kebijakan ini semakin memperberat keadaan. Kedua, kebijakan ini menabrak konstitusi yang ada. Sebagaimana termaktub dalam pasal 28 H (1) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin. Bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh layanan kesehatan”. Kemudian diperjelas lagi pada pasal 34 ayat (3) “Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas kesehatan dan pelayanan umum yang layak” Ketiga, Kebijakan ini mendukung liberalisasi ekonomi. Kebijakan menaikkan tarif BPJS dijadikan komoditas ekonomi dengan jalan diperdagangkan. Liberalisasi memang menuntut penghapusan terhadap proteksi negara termasuk bidang kesehatan.
Dalam Islam, kesehatan merupakan salah satu hak dari hak-hak masyarakat yang harus dipenuhi dengan sebaik-baiknya atas dasar perintah Allah SWT dan telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, dan ini telah dilakukan dengan baik sepanjang masa penerapan Islam selama kurang lebih 1300 tahun lamanya. Seluruh rumah sakit di dunia islam dilengkapi dengan tes-tes kompetensi bagi setiap dokter dan perawatnya, aturan kemurnian obat, kebersihan dan kesadaran udara, hingga pemisahan pasien penyakit-penyakit tertentu.
Rumah-rumah sakit ini bahkan menjadi favorit para pelancong asing yang ingin mencicipi sedikit kemewahan tanpa biaya, karena seluruh rumah sakit di dunia islam bebas biaya. Pada hari ke empat bila terbukti mereka tidak sakit mereka akan diminta pergi karena kewajiban menjamu musafir hanya tiga hari. Terdapat sinergi yang sangat baik antara negara sebagai penyedia kesehatan, dan para ilmuan yang terus mengembangkan teknologi kesehatan. Sehingga hak setiap warga negara yang diperintahkan Allah SWT untuk dipenuhi oleh pemimpin terlaksana dengan baik.
Menyaksikan pernah diterapkannya layanan kesehatan yang prima oleh negara yang menerapkan Islam secara kaffah menunjukkan bahwa setiap negara seharusnya mampu mewujudkan pelayanan kesehatan bagi masyarakatnya. Hubungan antara rakyat dan penguasa harus dibangun layaknya pelayan dan yang dilayani, bukan antara penjual dan pembeli. Pelayanan kesehatan bukan ajang mencari keuntungan komersil namun harus ditekankan pada prinsip kemanusian sebagai tanggung jawab negara, karena bagaimana mungkin rakyat dapat hidup sehat dan sejahtera jika biaya kesehatan saja mahal dan tak terjangkau?
Allahua’lam bisshawwab