Mengelola Kekeringan Dengan Islam

Mengelola Kekeringan Dengan Islam Ilustrasi (net).

Oleh : Ruruh Anjar

BINTANGPOST : Ancaman kekeringan masih berlanjut. Badan Nasional Penanggulangan Bencana merilis bahwa kekeringan telah menerpa 1.963 desa di 79 kabupaten/kota (Katadata.co.id, 17/7/2019).

Bahkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi potensi kekeringan dapat terjadi hingga akhir tahun 2019 (Bisnis.com, 16/7/2019).

BMKG juga menganalisa bahwa terdapat tiga kategori potensi kekeringan meteorologis yang tersebar di sejumlah wilayah yaitu Awas, Siaga, dan Waspada.

Daerah dengan kategori Awas antara lain Jawa Barat, Jawa Tengah, sebagian besar Jawa Timur, Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat. Kategori Siaga antara lain Jakarta Utara dan Banten, serta kategori Waspada antara lain Aceh, Jambi, Lampung, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Sulawesi Selatan.

Sehingga hal ini berdampak pada penurunan ketersediaan air tanah dan peningkatan potensi kebakaran hutan (cnnindonesia.com, 4/7/2019).

Data ini telah berkembang melalui catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang mengidentifikasi adanya 55 kepala daerah yang telah menetapkan wilayahnya sebagai daerah Siaga Darurat Bencana Kekeringan.

Wilayah tersebut meliputi Banten, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur,  Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Untuk itu BNPB,  BMKG,  dan  Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bekerja sama untuk melaksanakan operasi teknologi modifikasi cuaca (TMC) dalam rangka menangani kekeringan dan kegagalan panen di wilayah teridentifikasi (cnnindonesia.com, 22/7/2019).

Di Lampung sendiri saat ini telah dilakukan berbagai tindakan antisipasi. Baik terhadap gagal panen petani (Lampung Post, 30/7/2019), tumbuhnya titik api yang dapat menimbulkan kebakaran hutan (Lampung Post, 31/7/2019), maupun penyediaan air bersih bagi rumah tangga (Lampung.antaranews.com, 5/7/2019). 

Kekeringan kali ini akan lebih kering dibanding tahun sebelumnya, tetapi tidak lebih kering daripada tahun 2015.

Penyumbang Kekeringan

Kekeringan yang terjadi dari tahun ke tahun sepertinya belum memiliki penanganan yang tuntas. Bencana ini seyogyanya dilihat dengan sudut pandang bahwa kekeringan bukanlah sepenuhnya merupakan fenomena alam biasa, melainkan juga disumbang oleh polah manusia.

Paul Durack, penulis penelitian dari Laboratorium Nasional Lawrence Livermore, Australia menyatakan bahwa selain perubahan langsung pada suhu dan curah hujan global dan regional, kekeringan berskala global kini juga diketahui dipengaruhi oleh aktivitas manusia.

Bahkan bumi akan mengalami peningkatan kekeringan dengan adanya perubahan iklim dan peningkatan modernisasi dalam emisi rumah kaca.

Senada dengan hal tersebut, IPPC (Intergovermental Panel on Climate Change) pada tahun 2013 merilis adanya paparan para peneliti bahwa antara 95% hingga 100% dipastikan bahwa aktivitas manusia, seperti menggunakan bahan bakar fosil dan menebang hutan adalah semua penyebab di balik naiknya suhu secara global sejak tahun 1950. 

Pada tahun 2018, IPPC juga memperingatkan adanya pemanasan global diatas 1,5°C akan menambah resiko bencana alam ekstrim seperti cuaca panas ekstrim, kekeringan parah, banjir yang disebabkan curah hujan ekstrim, dan mencairnya daratan es di kutub utara yang berdampak pada ratusan juta orang di seluruh dunia. 

Hal ini seiring dengan Perjanjian Paris (2015) yang telah menetapkan tujuan jangka panjang untuk menahan peningkatan suhu rata-rata global dibawah 2° C di atas tingkat pra-industri dan berupaya untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5° C.

Di Indonesia, Perjanjian Paris ini diimplementasikan melalui Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia yang terdiri dari lima sektor yaitu energi, sampah, proses industri dan penggunaan produk (IPPU), pertanian, dan kehutanan. Program-program yang dilakukan mencakup adaptasi dan mitigasi iklim.

Berdasarkan hasil simulasi proyeksi iklim multimodel menggunakan asumsi pertumbuhan ekonomi dengan penerapan pengendalian emisi dan teknologi hijau (skenario RCP4,5), BMKG mengungkapkan bahwa iklim pada periode 2020-2030 mengindikasikan rata-rata suhu permukaan wilayah daratan di Indonesia akan lebih panas 0,2-0,3° celsius dibandingkan dengan rata-rata suhu udara pada periode 2005-2015.

Ancaman kekeringan ini semakin nyata ketika sistem kapitalis sekuler dalam pengelolaan industri dan kehidupan dijadikan landasan utama. Keuntungan materi sebesar-besarnya adalah tujuan.

Eksploitasi dan privatisasi air tanah difasilitasi.  Degradasi lingkungan pun memicu penyusutan mata air. Akibatnya saat hujan tidak turun, krisis air kian menjadi.

Hal ini ditekankan oleh Masoud Movahed, peneliti ekonomi pada New York University dan Harvard Economics Review dalam makalahnya yang berjudul “Does capitalism have to be bad for the environment?” pada pertemuan tahunan ekonomi World Economic Forum tahun 2016. Masoud memaparkan bahwa pertumbuhan dan konsumerisme adalah inti sistem ekonomi kapitalisme.

Tuntutan untuk terus meningkatkan produksi dan konsumsi telah mendorong eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran. Demi menekan biaya produksi dan memenangkan persaingan, para corporate tidak segan-segan mengorbankan kelestarian lingkungan.

Islam Menjawab.

Allah berfirman, “Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan akibat perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar” (QS Ar Rum; 41).

Menilik adanya ancaman kekeringan yang berpotensi terjadi setiap tahun dan hasil penelitian yang seirama dengan firman Allah di atas bahwa timbulnya kerusakan adalah akibat perbuatan manusia itu sendiri, maka sudah  sepantasnyalah manusia mengintrospeksi diri terhadap perbuatan yang telah dilakukannya selama ini.

Kekeringan yang merupakan efek dari pemanasan global muncul dari dunia industri dan sektor-sektor lain dengan konsep ideologi kapitalisme. Di dalam ideologi ini standar yang digunakan adalah manfaat dan materi.

Memperoleh keuntungan sebesar-besarnya tanpa memperhitungkan baik dan buruk adalah hal yang lumrah, apalagi halal dan haram adalah sesuatu yang jauh panggang dari api.  Padahal AIlah subhanahu wata’ala telah menganugerahkan sumber daya air yang tercurah. Termasuk di dalamnya mekanisme daur air agar air lestari bagi kehidupan.

Tidak hanya itu, Allah juga menciptakan keseimbangan pada segala aspek yang dibutuhkan bagi keberlangsungan daur air. Mulai dari hamparan hutan, iklim, sinar matahari, sungai, danau, laut, dan sumber mata air lainnya. Allah pun mengingatkan agar keseimbangan itu harus dijaga dengan cara menerapkan syariat Islam yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Di dalam Islam, pengelolaan kekeringan dilakukan melalui pendekatan teknis akademis dan non teknis.

Pendekatan teknis akademis meliputi pengelolaan sumber daya air yang cermat dan memperhatikan berbagai aspek. Sebagai contoh di Samarra, air dibawa oleh hewan dan saluran pengumpan, yang mengalir sepanjang tahun. Jalan raya yang luas dan panjang hingga luar kota, dengan saluran pengumpan yang membawa air minum mengapit kedua sisi jalan.

Seluruh dunia Muslim, dicirikan dengan air yang mengalir di sungai, kanal, atau qanat (saluran bawah tanah) ke kota. Air disimpan dalam tangki dan disalurkan melalui pipa-pipa di bawah tanah ke berbagai tempat. Seperti tempat tinggal, bangunan umum, dan kebun.

Air yang berlimpah mengalir keluar dari kota menuju sistem irigasi. Tidak hanya di perkotaan, di pemukiman penduduk dan pedesaan pun, lahan-lahan pertanian terairi secara layak. Tidak terjadi eksploitasi lingkungan secara berlebihan hanya demi keuntungan materi dan nafsu dunia.

Semua ini menandakan bagaimana di bawah naungan sistem Islam keseimbangan dan segala aspek yang menjaga keberlangsungan lingkungan terjaga dengan baik. Pengelolaan sumber daya alam dilakukan oleh negara dalam dimensi takwa yang utuh berdasarkan aturan-aturan Allah.

Kepemilikan negara dan kepemilikan umum tidak dikapitalisasi dan tidak dipisahkan dari nilai-nilai agama. 

Sedangkan secara non teknis, kaum muslimin senantiasa menyandarkan ketawakalan kepada Allah. Meyakini bahwa ada Allah Sang Maha Pencipta dan Pengatur Kehidupan.  

Sebagai contoh manakala musim kemarau datang, kaum muslimin melaksanakan sholat istisqa dan berdoa meminta hujan yang berkah kepada Sang Maha Baik. 

Sehingga kaum muslimin memiliki kepribadian Islam yang teguh, senantiasa berikhtiar dan bertawakal untuk mengelola bumi yang diamanahkan sesuai standar syara'. Untuk itu sudah saatnya manusia mengambil syariat Islam dalam rangka menjaga bumi dan kehidupan. Karena dengan landasan takwa, keberkahan akan tercurah sebagaimana yang dijanjikan-Nya.

Wallahua’lam bishshowwab

Bintangpost.com

Reporter bintangsaburai.com region Lampung.

Administrator

bintangsaburai.com

Leave a Comment