Menakar Problematika Tindak Pencurian oleh Pelajar

Menakar Problematika Tindak Pencurian oleh Pelajar .

Oleh: Ruruh Anjar

BINTANGPOST : Pelajar adalah harapan bangsa, penerus pembangunan dan pencipta peradaban yang lebih baik dari sebelumnya. Itulah yang selama ini selalu ditanamkan pada diri mereka. Namun, alangkah sedihnya manakala mendengar berita adanya kriminalitas yang dilakukan justru oleh pelajar.

Kejadian nyata terjadi baru-baru ini di Bandar Lampung. Dilansir dari www.lampost.com (24/8/2018), empat orang pelajar SMP (kisaran usia 13-16 tahun) nekat mencuri mobil Toyota Avanza BE 2850 YY milik seorang pengusaha rental playstation (PS).  Saat itu keempat pelajar sedang bermain PS disana ketika pemilik kendaraan masuk untuk menjaga rentalnya. Malang tak dapat dihindar,sewaktu ditinggal sebentar ke dalam, ia lupa meletakkan kunci mobilnya di dekat remaja-remaja tersebut.  Hingga ketika ia kembali ke ruangan PS, dilihatnya para remaja sudah tak ada disertai raibnya mobil yang biasa diparkirnya. Rekam CCTV menunjukkan bahwa keempat pelajar itulah pelakunya.

Menurut Kapolsek Tanjungkarang Barat (TkB) Kompol Hapran, walaupun sudah tersangka  mereka dipulangkan kepada orangtuanya karena masih kategori usia anak-anak. Namun proses perkara tetap dilanjutkan dan mereka dikenai wajib lapor.

Tindak kriminal ini semakin melengkapi keprihatinan terhadap perilaku pelajar saat ini. Apa yang mereka lakukan sejatinya adalah efek akumulasi dalam kehidupannya yang membentuk karakternya saat ini. Pun keadilan dalam tindak hukuman yang mereka terima adalah berdasarkan cara pandang dalam kategorisasi anak. Dengan peraturan perundangan saat ini usia mereka yang masih di bawah 18 tahun, belum dikenai hukuman sebagaimana orang dewasa.

Menyikapi hal tersebut, Islam memiliki cara pandang yang khas dan unik serta solusi yang komprehensif. Tidak hanya sekedar hukuman yang pantas terhadap perilaku kriminal mereka.

       1.       Proses pembentukan karakter

Pembentukan karakter dalam Islam dimulai sejak dini. Orangtua berperan besar sebagai pendidik yang pertama dan utama. Untuk itu perlu berproses dalam meningkatkan kualitas mendidik anak berdasar akidah Islam. Saat masuk sekolah pun untuk kondisi saat ini tidak bisa diserahkan sepenuhnya karena kurikulum pendidikan masih berbasis kapitalistik sekuler atau memisahkan agama dari kehidupan. Apalagi dengan keinginan memoderasi kurikulum agama, dikhawatirkan akan semakin menciptakan karakter siswa yang hedonis dan materialistis. Sehingga perlu penguatan kurikulum berlandas akidah Islam yang memiliki daya dorong agar anak mau melaksanakan hukum-hukum syara’.

Belum lagi dengan kondisi lingkungan sosial masyarakat yang sebagian besar mengusung gaya hidup duniawi. Lebih menghargai materi (harta dan tahta) di atas segalanya. Inilah mengapa Islam harus mendasari setiap perilaku manusia. Menyadari bahwa Allah mengawasi setiap perbuatan dan akan meminta pertanggunggjawabannya.

       2.       Jaminan nafkah bagi anak

Islam menjamin nafkah anak melalui serangkaian hukum yang wajib diterapkan.  Nafkah anak dibebankan pada para wali.  Bila wali tidak ada atau tidak mampu, negara wajib untuk menjamin nafkah anak.  Dengan demikian anak tidak perlu memikirkan kebutuhan hidupnya yang akan menyeretnya pada berbuat pidana.
3.       Penjagaan terhadap akidah dan moral
Islam memberikan aturan pada negara untuk menindak tegas terhadap peredaran miras, narkoba, akses pornografi, tindak kekerasan, dan informasi atau  hal-hal lain yang dapat merusak akidah dan moral masyarakat. Terlebih agar mencegah anak dan remaja terpapar hal-hal negatif. Untuk itu negara dibekali dengan hak untuk menghukum siapapun yang menyebarkan kerusakan.

        4.       Hukuman bagi tindak pencurian

Hukuman bagi anak harus didasarkan pada pendefinisian anak yang sebenarnya. Di dalam Islam anak dikategori bagi yang belum baligh. Sedangkan bagi yang sudah baligh dianggap sudah dewasa. Jika belum baligh maka tidak diberikan hukuman karena belum terkena beban hukum/taklif syara’.  Hal ini seperti yang dilakukan Utsman bin Affan saat menjadi khalifah yang tidak menghukum anak belum baligh saat melakukan kejahatan. Namun negara dapat memaksa agar anak berada dalam pengawasan, pengasuhan, dan pendidik yang akan membentuknya berkepribadian Islam.

Sedangkan bagi yang sudah baligh maka dapat dimintai pertanggungjawaban dan dikenakan sanksi sesuai kadar kejahatannya seperti hukum potong tangan. Sejatinya penerapan hukum pidana Islam ini adalah bentuk ketakwaan kita kepada Allah dan akan memberikan fungsi pencegah secara sosial. Berperan sebagai zawajir (memberi efek jera) dan jawabir (menebus dosanya di akhirat). Jika masih menggunakan hukum selain hukum Islam maka sudahlah mendapat hukuman di dunia, dosanya tidak tertebus dan di akhirat masih akan mendapat siksa. Oleh sebab itu peran negara sangat penting untuk menerapkan sistem peradilan sesuai aturan Allah.

Berdasarkan hal-hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Islam itu lengkap. Sempurna. Tidak hanya mengatur masalah individu, tetapi sampai tingkat masyarakat dan negara. Hukum-hukumnya jika diterapkan akan membawa kemaslahatan karena bersumber langsung dari Allah. Sang Maha Baik dan Adil, Pencipta dan Pengatur kehidupan. Sehingga pelajar sebagai penerus bangsa akan benar-benar berwujud. Di dalam sistem Islam yang membawa keberkahan dari langit dan bumi. Penuh ridho Ilahi.

Wallahua’lam bishshowwab


Bintangpost.com

Reporter bintangsaburai.com region Bandar Lampung.

Administrator

bintangsaburai.com

Leave a Comment