Municipal Bond: Instrumen yang Masih Jadi Guyonan

Municipal Bond: Instrumen yang Masih Jadi Guyonan Foto. Net.

Oleh: Pramudita

Bandar Lampung (BP) : Pembangunan di daerah membutuhkan dana yang tidak sedikit. Jalan, rumah sakit, pasar, hingga transportasi publik menuntut biaya yang kerap kali melampaui kapasitas fiskal pemerintah daerah. Selama ini, ketergantungan pada dana transfer pusat masih sangat tinggi, baik melalui Dana Alokasi Umum maupun Dana Alokasi Khusus. 

Di tengah keterbatasan itu, salah satu instrumen yang sebenarnya bisa dipakai adalah obligasi daerah atau municipal bond. Obligasi daerah merupakan surat utang yang diterbitkan pemerintah daerah kepada masyarakat atau investor. 

Uang yang terkumpul dapat digunakan untuk membiayai proyek pembangunan, sementara pemerintah daerah berkewajiban membayar kembali pokok dan bunga pada waktu tertentu. Di negara-negara maju, instrumen ini sudah menjadi hal biasa. Kota atau provinsi menerbitkan obligasi untuk membangun sekolah, jembatan, atau bahkan sistem transportasi modern.

Namun di Indonesia, konsep ini masih sebatas wacana. Padahal regulasi mengenai obligasi daerah sudah ada sejak Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Hingga kini, penerapannya sangat minim. Alasannya sederhana: sebagian besar pemerintah daerah belum siap, bahkan tidak benar-benar mengerti apa itu obligasi.

Ada cerita menarik yang menggambarkan hal ini. Beberapa tahun lalu, seorang Wali Kota Solo ditanya mengenai wacana penerbitan obligasi daerah. Dengan polos ia menjawab: “Obligasi itu apa?” Jawaban yang terdengar lucu, tetapi sesungguhnya menyingkap realitas literasi keuangan di tingkat daerah masih rendah. Bila pemimpin daerah saja belum memahami instrumen pembiayaan ini, bagaimana mungkin bisa dijalankan dengan baik?

Selain faktor pemahaman, persoalan utama adalah tata kelola dan kepercayaan. Investor tentu hanya mau membeli obligasi daerah bila yakin daerah tersebut mampu mengembalikan pinjaman tepat waktu. Sayangnya, pengelolaan keuangan daerah di Indonesia masih sering disorot. Defisit belanja rutin, lemahnya pencatatan aset, hingga kasus korupsi membuat obligasi daerah berisiko kehilangan kepercayaan pasar.

Kesiapan teknis juga menjadi tantangan. Untuk menerbitkan obligasi, daerah harus memiliki rencana pembangunan yang jelas, proyeksi arus kas yang realistis, dan sistem akuntansi yang transparan. Sayangnya, banyak daerah belum memiliki tim keuangan dengan kemampuan tersebut. Akibatnya, meski peluang besar, obligasi daerah masih dianggap sesuatu yang rumit, bahkan menakutkan.

Meski demikian, kita tidak boleh menutup mata terhadap potensinya. Jika dikelola dengan baik, obligasi daerah bisa menjadi terobosan pembiayaan pembangunan. Masyarakat bisa berpartisipasi langsung melalui pembelian obligasi, sementara pemerintah daerah memperoleh dana segar untuk membangun infrastruktur vital. Manfaatnya bahkan bisa meluas, karena uang yang berputar di pasar modal juga mendorong inklusi keuangan.

Kuncinya ada pada literasi dan tata kelola. Pemerintah pusat perlu mendorong peningkatan kapasitas aparatur daerah dalam memahami instrumen keuangan modern. Lembaga pengawas keuangan juga harus memastikan transparansi agar obligasi tidak berubah menjadi beban utang yang membelit. Bila hal ini dilakukan, obligasi daerah bisa menjadi alternatif nyata, bukan sekadar wacana yang berulang-ulang disampaikan di seminar.

Untuk saat ini, pertanyaannya masih sederhana: apakah pemerintah daerah benar-benar siap memikul tanggung jawab obligasi? Selama jawabannya belum jelas, jangan heran bila masyarakat masih sering mendengar cerita kepala daerah yang kebingungan dan bertanya, “Obligasi itu apa?” sebuah anekdot yang lucu, tetapi juga menjadi cermin serius bagi kesiapan fiskal daerah di Indonesia. (*)

Salom.







Bintangpost.com

Reporter bintangsaburai.com region Bandar Lampung.

Administrator

bintangsaburai.com

Leave a Comment