Apa Kabar Kebijakan Penyelesaian Perkebunan Sawit di Kawasan Hutan?

Apa Kabar Kebijakan Penyelesaian Perkebunan Sawit di Kawasan Hutan? .

By : Magister Ilmu Lingkungan Universitas Lampung

Bandarlampung (BP) : Keberadaan perkebunan sawit dalam kawasan hutan menjadi buah simalakama bagi Indonesia. Komoditas sawit merupakan penghasil devisa terbesar negara. Industri pengolahan sawit adalah salah satu sektor unggulan yang menopang perekonomian nasional. 

Kinerja ini dibuktikan antara lain melalui kontribusinya sebesar 17,6% terhadap total ekspor nonmigas pada tahun 2021. Selain itu, industri pengolahan sawit merupakan sektor padat karya, yang telah menyerap tenaga kerja langsung sebanyak 4,20 juta orang dan pekerja tidak langsung hingga  12 juta orang (Kementerian Perindustrian, 10 Maret 2022). Namun di sisi lain, Indonesia juga dihadapkan pada pemenuhan komitmen menekan angka deforestasi dari berbagai macam aktivitas ekonomi, termasuk sektor sawit. oleh karena itu, keberadaan sawit dalam kawasan hutan harus dicarikan jalan keluar terbaik.

Melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) Pemerintah hendak menyelesaikan konflik sawit di kawasan hutan yang menahun melalui revisi Undang–Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kerusakan Hutan. Ada dua pasal tambahan yaitu pasal 110A dan 110B,  perambah hutan yang membangun kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan hendak diampuni dan hanya dikenakan denda, strategi kebijakan penyelesaian yang semula dengan pendekatan hukum pidana, kini dilakukan dengan pengenaan sanksi administratif dan penataan kawasan hutan. Sesuai dengan mandat Pasal 110 A dan 110 B, kebijakan ini hanya dapat dilakukan selama 3 tahun. Kemudian setelah tenggat waktu 3 tahun terlewati, maka penyelesaian permasalahan ini akan kembali menggunakan kebijakan yang lama, yakni dengan pendekatan hukum pidana. 

Strategi lain yang digulirkan Pemerintah memalui UUCK dan Peraturan turunannya adalah dengan menetapkan Jangka Benah sebagai salah satu instrument kebijakan nasional dalam penyelesaian persoalan “keterlanjuran” kebun rakyat dan “tumpang tindih” izin usaha di kawasan hutan yaitu pada  Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2021 (PP 23/2021) tentang Penyelenggaraan Kehutanan pada pasal 82 ayat 2. 

Kemudian diperjelas melalui Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2021(PP 24/2021) tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan, bahwa Jangka Benah menjadi salah satu instrument denda.

Definisi jangka benah yaitu waktu yang dibutuhkan untuk mencapai struktur hutan dan fungsi ekosistem sesuai tujuan pengelolaan, dimana pada pasal 27 ayat 4(a) disebutkan bahwa dalam hal penerbitan persetujuan kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang tumpang tindih dengan perizinan di bidang kehutanan di kawasan hutan produksi, maka memuat kewajiban kepada setiap orang untuk melakukan kegiatan Jangka Benah, sementara pada pasal 28 ayat 3(a) dijelaskan mengenai persetujuan melanjutkan kegiatan usaha yang memuat kewajiban untuk menerapkan jangka benah dan tidak melakukan penanaman sawit baru (replanting). 

Upaya perbaikan melalui kebijakan jangka benah ini dilakukan secara bertahap dan komprehensif melalui penguatan kelembagaan, tindakan silvikultur yang terjadwal, dan dukungan kebijakan. Lalu seiring berjalannya waktu yang Sampai saat ini, sudah satu setengah tahun setelah kebijakan ini diterapkan  timbul pertanyaan, apakah kebijakan tersebut mampu menyelesaikan persoalan perkebunan sawit di kawasan hutan?

Permasalahan dalam Kebijakan.

Dalam perjalanannya, penerbitan Instrumen kebijakan ini, ternyata terdapat permasalahan baru, Setelah UUCK di sahkan, Pemerintah menerbitkan berbagai peraturan pelaksananya. Namun, dari beberapa peraturan yang diterbitkan tersebut terdapat beberapa pengaturan yang tidak selaras, dimana yang paling mencolok adalah persoalan penghitungan denda administratif. dimana dalam Pasal 29 ayat 3 PP 24/2021, diatur bahwa “Besaran Sanksi Administratif  berupa pembayaran Denda Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dihitung sebesar 10 (sepuluh) Provisi Sumber Daya  Hutan (PSDH) Dan Dana Reboisasi (DR)”. 

Aturan ini tidak sama dengan penghitungan yang tertera dalam lampiran PP 24/2021 bahwa penghitunganya dihitung dari rumus Luas dikali Waktu dikali Tarif.  Perbedaan ini juga terdapat dalam Pasal 315 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 08 Tahun 2021 (Permen LHK 8/2021) tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi dimana pada ayat (1) disebutkan Denda administratif dikenakan terhadap kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang terbangun di dalam Kawasan Hutan, yang sudah memiliki izin lokasi dan/ izin usaha di bidang perkebunan yang tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan dikarenakan tidak menyelesaikan persyaratan perizinan di bidang kehutanan. 

Kemudian pada ayat (2) Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan: Denda administratif = Volume dikali Tarif. Tentunya dengan Adanya perbedaan rumus penghitungan denda adminitratif ini akan menimbulkan kerancuan perhitungan kebijakan mana yang akan digunakan. 

Selain itu juga, kebijakan penyelesaian permasalahan sawit di kawasan hutan dengan penataan kawasan hutan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2021 (Permen LHK 7/2021) tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan, dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan, Serta Penggunaan Kawasan Hutan dilakukan dengan strategi terpusat. Tentunya dapat diartikan Strategi seperti ini, sudah pasti memiliki rantai penyelesaian yang cukup rumit dan waktu yang lama. Seharusnya, ditambah porsi pelibatan Pemerintah Daerah yang lebih besar, bukan hanya sebagai perantara saja, tetapi juga sebagai salah satu pihak pengambil keputusan.

Begitupun strategi Kebijakan Jangka Benah yang juga perlu mendapatkankan perhatian, dimana dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 247 PP 23/ 2021 sebagai regulasi perhutanan sosial, Pemerintah telah menerbitkan Permen LHK Nomor 09 tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan, dari Penerbitan Permen ini yang patut disayangkan adalah pada konsider BAB VII yang hanya disebutkan tentang Jangka Benah kebun rakyat, tetapi belum diatur regulasi Jangka Benah pada pelaku usaha yang mengalami tumpang tindih perizinan usaha di kawasan hutan, sebagaimana diamanatkan pada  pasal 27(4a) PP 24/2021. Padahal sebagian besar dari “keterlanjuran” perkebunan sawit di kawasan hutan dikelola oleh perusahaan, sehingga perlu dibuat regulasi untuk penerapan jangka benah pada pelaku usaha yang mengalami tumpang tindih perizinan usaha di kawasan hutan.

Lalu bagaimana Jalan Keluar permasalahan ini?

Terkait belum adanya informasi resmi pihak terkait  mengenai  berapa hektar jumlah Perkebunan sawit dikawasan hutan yang sudah di selesaikan dengan kebijakan baru, hal ini mengindikasikan bahwa penerapan dari kebijakan yang ada belum berjalan dengan baik. Boleh jadi hal ini disebabkan karena masih adanya kerancuan antara peraturan yang satu dengan yang lain, serta strategi penyelesaian yang secara sentralistik, sebagaimana diungkapkan dalam pembahasan sebelumnya. Padahal penyelesaian masalah ini dengan Instrumen UU 11/2020 dan aturan turunan pelaksananya hanya berlaku selama 3 tahun, ini artinya tinggal 18 bulan lagi kebijakan tersebut akan berakhir. 

Oleh sebab itu, untuk mendapatkan jalan keluar atas "seret"nya implementasi kebijakan tersebut, perlu adanya evaluasi atas kebijakan dan pelaksanaan kebijakan untuk memperbaiki bagian kebijakan yang bermasalah. Evaluasi kebijakan dalam rangka solusi percepatan penyelesaian, minimal Pemerintah Pusat perlu mempertimbangkan akan keterlibatanan dari Gubernur, Bupati/Walikota sebagai pengambil keputusan di Daerah masing-masing untuk turut serta dalam menyelesaikan permasalahan sawit di kawasan hutan disesuaikan dengan porsi kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang–Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, dengan demikian dalam penyelesaian permasalahan perkebunan sawit dikawasan hutan tidak hanya mengandalkan Pemerintah Pusat, tetapi juga dengan memanfaatkan sumber daya yang ada di daerah masing-masing. 

Begitu juga semoga para pengusaha dan penguasa kebun kelapa sawit di kawasan hutan bersedia membayar PSDH dan DR, dimana mengutip Ikhtisar Hasil Pemeriksaan (IHPS) BPK semester-II tahun 2021 bagian Pengendalian dan Pengawasan Penggunaan Kawasan Hutan Tanpa Izin bidang Kehutanan menemukan, sekitar 2,90 juta ha lahan sawit Indonesia ternyata masuk kawasan hutan dan tanpa izin bidang kehutanan, juga belum teridentifikasi subjek hukumnya. 

Akibat dari keberadaan permasalahan tersebut adalah potensi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) PSDH dan DR total sebesar Rp20,22 triliun dan US$6,15 miliar belum dapat ditagihkan ke badan usaha. Kemudian setelah itu mereka para pengusaha dan penguasa kebun sawit mau melakukan jangka benah agar kawasan hutan yang menjadi kebun sawit bisa kembali ke ekosistemnya semula. (*)

Author : Bambang Supriono, Rahman Sumanto, Mia Putri Utami, Dewi Martina, dan Christine Wulandari






Bintangpost.com

Reporter bintangsaburai.com region Bandar Lampung.

Administrator

bintangsaburai.com

Leave a Comment