Demokrasi, Islam dan Demokrasi Indonesia

Demokrasi, Islam dan Demokrasi Indonesia .

Oleh: Aan Saputra

Komplekasivitas pelaksanaan pemilu, pemilihan kepala daerah serta PILKADES selalu menjadi materi hangat dalam diskusi-diskusi di kalangan masyarakat disetiap element. Kalau kita melihat televisi, mendengar radio atau membaca berita di media cetak maupun oline yang bertepatan pada momen-momen pelaksanaan pemilu, pemilihan kepala daerah bahkan PILKADES Pastinya kita akan sering mendengar kata DEMOKRASI.

Ya, sebuah kata dengan beragam masalahnya yang kompleks, terkadang menjadi diskusi hangat para legislator, mahasiswa, bahkan masyarakat dipedesaan yang jauh dari keramaian sekalipun, juga sangat sering diteriakkan oleh pengunjuk rasa dalam sebuah tuntutan kepada pemerintah yang katanya, sebagai akumulatif dari keterwakilan masyarakat atas implementasi dari demokrasi yang katanya disalah artikan. Namun makna hakikinya apa, itulah yang terkadang sering kita lalai.

Demokrasi sendiri memiliki banyak arti, di dalam KBBI, demokrasi bisa dikatakan sebagai bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka.

Negara yang memegang prinsip-prinsip demokrasi, mengizinkan warga negara berpartisipasi baik secara langsung atau melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Cakupan demokrasi pun sangat luas, yakni meliputi kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara.

Demokrasi juga merupakan seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan beserta praktik dan prosedurnya. Demokrasi mengandung makna penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia. Seperti kata Gusdur, yang paling penting dari politik itu sendiri ialah kemanusiaan. Ya, karena demokrasi adalah produk yang tercipta dari regulasi-regulasi yang tak bisa dipisahkan dari peran politik.

Tapi bagaimana Islam memandang demokrasi itu sendiri?. Misalnya Indonesia, apa benar negara kita tercinta ini salah dalam melaksanakan demokrasi seperti yang disampaikan banyak politisi bahwa demokrasi kita kebablasan?

Di dalam al-Qur’an surat al-syura ayat 38 Allah SWT berfirman "dan bagi orang-orang yang menerima seruan Tuhannya dan mendirikan sholat sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka dan mereka menafkahi sebagian dari rezeki yang kami berikan kepada mereka".

Dalam ayat tersebut Allah memberikan gambaran kepada umat manusia dikala itu dan tentunya saat ini, mengenai ciri seorang umat manusia yang dapat menerima dan memahami pastilah ia kan mematuhi perintah Tuhannya. Yakni dengan menjalankan dan mendirikan sholat dan bermusyawarah, untuk memutuskan urusan mereka. Artinya dalam surat ini dapat difahami bahwa terkait dengan solat dan musyawarah, Allah jadikan sebagai ciri ketaatan seorang hamba kepada Allah SWT.

Syekh Yusuf qardawi seorang ulama' Islam mengatakan bahwa, substansi demokrasi sejalan dengan ajaran islam. Menurut beliau hal itu dapat dilihat dari beberapa hal, seperti contoh : dalam proses demokrasi, pemilihan pemimpin tentunya akan melibatkan orang banyak untuk memilih salah satu dari beberapa kandidat yang nantinya akan menjadi pemimpin mereka, dengan harapan pemimpin itulah yang kemudian akan menjamin kehidupan dan kebutuhan mereka.

Dalam konteks ini tentunya masyarakat akan memilih pemimpin yang layak dan mereka sukai, serta yang terpenting adalah yang terpercaya. Demikian pula dalam Islam, Islam menolak imam shalat yang tidak disukai oleh makmumnya. Usaha setiap rakyat untuk meluruskan pemimpin yang menyeleweng juga sejalan dengan Islam, bahkan amar ma'ruf nahi mungkar serta memberi nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam.

Pemilihan umum adalah bagian dari proses pemberian saksi, karena itu barang siapa yang tidak memberikan hak pilihnya sehingga kandidat yang seharusnya layak dipilih menjadi kalah dan secara mayoritas jatuh kepada kandidat yang tidak layak, berarti ia telah menyalahi perintah Allah untuk memberi kesaksian pada saat yang dibutuhkan.

Selepas wafatnya Rasulullah SAW pada pada 12 rabiul awal 11 H, para sahabat memutuskan untuk mencari tokoh yang dapat memimpin umat islam. Sebelum Rasulullah wafat, beliau tidak menunjuk pengganti atau mewariskan kepemimpinannya kepada seseorang, suksesu pada saat itu dilakukan oleh para sahabat dengan jalan musyawarah (Syura) dan pemilihan.

Pada waktu itu umat Islam sepakat dengan sukarela dan tanpa paksaan mengakui empat sahabat Rasulullah menjadi kholifaturrosyidin, dimulai dari abu bakar as Siddiq, Umar bin khotob, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Tholib. Hanya saja proses musyawarah dan pemilihan dilakukan sesuai dengan kondisi pada saat itu, sejak itulah yang kemudian menjadi cikal bakal munculnya istilah syura dalam kehidupan politik, sosial dan kemasyarakatan umat Islam. Syura yang berarti permusyawaratan atau konsultasi yang secara langsung telah menggambarkan bentuk demokrasi.

Bergeser sedikit di akhir abad ke-20 hingga awal abad ke-21, Gusdur yang merupakan Presiden RI di kala itu, sangat kentara menekankan politik demokrasi yang bertujuan menghapuskan belenggu eksploitasi kemanusiaan.

Bahkan saat dirinya dilengserkan, dirinya mencegah jumlah massa dalam rombongan besar untuk menginjakan kakinya di pusat pemerintahan. Jelas dalam kasus ini, Gusdur yang dikenal sebagai ulama kharismatik tak menginginkan perpecahan.

Dalam sebuah acara televisi Gusdur mengaku tak ingin melihat rakyat Indonesia bertumpah darah hanya karena mempertahankan jabatan. Padahal di dalam demokrasi itu sendiri, protes yang dilakukan rakyat atas keputusan yang diambil adalah hal yang diperbolehkan.

Tapi ini lah ketika prinsip-prinsip Islam dituangkan ke dalam demokrasi kita. Demokrasi kita tak menjadi demokrasi yang kaku karena mengutamakan kemanusiaan.

Kemudian Indonesia sendiri memiliki acuan bernegara yang kita sebut dengan 4 pilar kebangsaan, yakni Pancasila, UUD 45, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI. Pancasila dan UUD 45 memiliki sejarah panjang dalam perumusannya. Bahkan para alim ulama Indonesia kebanyakan, menyatakan bahwa Pancasila itu sangat Islami.

Bhineka Tunggal Ika yang merupakan falsafah hidup bangsa Indonesia, juga memiliki peran penting dalam kehidupan berbangsa dan negara kita. Perbedaan bangsa suku, ras, budaya dan bahasa, disatukan dengan falsafah legendaris itu. Islam pun sudah menjelaskan bahwa perbedaan itu adalah rahmat. Dan hal ini semakin diperkuat dengan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, bukan kerajaan-kerajaan yang seringkali menemui konflik horizontal.

Semoga mencerahkan.

Bintangpost.com

Reporter bintangsaburai.com region Pesawaran.

Administrator

bintangsaburai.com

Leave a Comment