Oleh: Silvia Anggraeni, S. Pd
Bintangpost (BP) : Presiden Prabowo Subianto secara resmi meluncurkan Coretax pada 31 Desember 2024 lalu. Coretax merupakan sistem pajak canggih milik Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, yang digadang-gadang bisa mendatangkan tambahan pendapatan negara sampai Rp1.500 triliun. Dan mulai 1 Januari 2025, wajib pajak sudah bisa mengakses sistem ini.
Adapun tujuan dibangunnya sistem ini adalah sebagai upaya untuk melakukan reformasi perpajakan dengan mengintegrasikan seluruh sistem administrasi perpajakan. Kehadirannya diharapkan bisa membuat wajib pajak menjadi lebih patuh. Karena sistem digitalisasi dan integrasi data ini pada akhirnya akan melahirkan sanksi secara otomatis. Sehingga warga yang tidak membayar pajak akan sulit mengurus dokumen penting seperti paspor.
Kezaliman
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil….”[An-Nisa/4 : 29]
Ayat ini menerangkan bahwa Allah SWT telah melarang hambaNya saling memakan harta sesamanya dengan jalan yang tidak dibenarkan. Dan pajak adalah salah satu jalan yang batil untuk mengambil harta sesamanya.
Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Tidak halal harta seseorang muslim kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya”. (Hadits ini Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih wa Dhaif Jami'ush Shagir 7662, dan dalam Irwa'al Ghalil 1761 dan 1459).
Pajak jelas menjadi pungutan yang memberatkan masyarakat. Sehingga saat melakukan pembayaran, wajib pajak pasti melakukannya dengan berat hati, terutama masyarakat menengah ke bawah. Apalagi dalam kondisi ekonomi yang sedang sulit seperti sekarang, ditambah banyaknya pekerja yang mengalami PHK. Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan, pada periode Januari-Agustus 2024 terdapat 46.240 orang tenaga kerja yang ter-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja).
Dari sini dapat disimpulkan bahwa pajak termasuk bentuk kezaliman dan diharamkan dalam Islam. Adapun dalil yang khusus menjelaskan keharaman pajak dan ancaman bagi penariknya salah satunya adalah hadits Rasulullah SAW berikut, yang artinya: “Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka” [HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah : 7]
Perekonomian Negara dalam Islam, Tanpa Pajak
Tak seperti sistem kapitalisme yang menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan utama, dalam sistem Islam masalah pemasukan dan pengeluaran negara diatur sesuai syariat Islam. Menurut Syekh Abdul Zallum (2003) terkait pemasukan dalam APBN Khilafah Islam, ada 12 kategori. Di antaranya dari harta rampasan perang (Anfal, ganimah, fai, dan khumus), pungutan dari tanah kharaj, pungutan dari non-muslim (jizyah), harta milik umum, harta milik negara, harta yang ditarik dari perdagangan luar negeri (usyr), harta yang disita dari pejabat dan pegawai negara yang diperoleh dari cara yang haram, zakat, dan seterusnya. (Syekh Abdul Zallum, Al-Amwal fi Dawlah al-Khilafah, hlm.30).
Dan yang menjadi sumber pemasukan terbesar adalah harta milik umum. Yaitu sumber daya alam yang depositnya melimpah seperti tambang. Harta milik umum ini hanya boleh dikelola oleh negara dan semua hasilnya diberikan kepada seluruh rakyat baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dan haram hukumnya menyerahkan harta milik umum kepada individu/swasta apalagi asing. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW yang artinya: “Manusia berserikat dalam tiga perkara, yakni air, padang rumput, dan api (energi).” (HR Abu Dawud).
Sementara Indonesia sendiri merupakan negeri yang kaya dengan sumber daya alamnya. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pernah mengungkapkan bahwa Indonesia menyimpan 'harta karun' dari sektor pertambangan mineral dan batu bara (minerba) yang jumlahnya bisa mencapai US$ 4 triliun, dan 2/3 nya berasal dari batu bara. (CNBC, 18-03-2024).
Selain itu, Indonesia juga memiliki kekayaan laut dan hutan yang melimpah. Dan jika semua jumlah kekayaan tersebut dikelola seluruhnya oleh negara, maka hasilnya akan dapat menjadikan perekonomian negara kuat dan bebas pajak tentunya.
Karena pajak dalam Islam memiliki fungsi stabilitas dan insidental. Jadi ia hanya dipungut saat kas negara sedang kosong. Dan ketika masalah kekosongan tersebut sudah selesai maka pajak pun dihentikan. Selain itu, yang menjadi wajib pajak hanya warga negara Muslim dari golongan orang yang kaya. Yaitu orang yang memiliki kelebihan harta, sehingga pajak dapat menjadi ladang pahala dan kebaikan bagi mereka. Seperti yang Rasulullah Saw sabdakan: “Sedekah yang paling baik adalah yang berasal dari orang kaya.” (HR Bukhari).
Adapun penggunaan pajak dalam Islam adalah untuk membiayai jihad, pembangunan industri senjata, nafkah fakir dan miskin, membayar gaji tentara, pegawai negeri, hakim, dan guru. Termasuk pembiayaan kondisi darurat seperti gempa, banjir, topan, tsunami, invasi musuh, dan sebagainya. Sementara pembangunan fasilitas umum yang tidak bersifat darurat, maka negara tidak boleh membiayainya dengan pajak.
Demikianlah Islam dengan segala ketentuannya yang bersumber dari Allah SWT. Jika diterapkan dengan sempurna maka keberkahan akan menjadi suatu keniscayaan. (*)
Allahu alam bisshowab