Oleh : Pramudita (Wartawan Muka Kusam)
Bandarlampung (BP) : Fenomena oknum-oknum pejabat rakus dan berotak kosong sebenarnya mirip dengan situasi pinalti dalam pertandingan sepak bola.
Kedua hal ini meskipun berada di konteks yang berbeda, punya benang merah yang sama, yaitu kekuasaan dan tanggung jawab yang salah digunakan.
Kalau kita bicara soal oknum pejabat yang rakus, biasanya mereka adalah orang-orang yang seharusnya memegang kekuasaan untuk kebaikan banyak orang, tapi justru sibuk memanfaatkan kesempatan buat diri sendiri.
Di sisi lain, istilah “berotak kosong” merujuk pada mereka yang punya jabatan tinggi, tapi pemikirannya dangkal, tidak paham dengan akibat dari keputusan yang mereka buat.
Analogi dengan pinalti ini mungkin terdengar unik, tapi ada filosofi yang bisa kita tarik dari sini.
Saat seorang pemain bola diberi kesempatan tendangan pinalti, dia berada di posisi yang sangat menguntungkan. Karena di hadapannya cuma ada satu penjaga gawang, dan secara teori peluang untuk mencetak gol sangat besar.
Tapi justru di sinilah tantangannya, momen pinalti ini bukan cuma soal menendang bola ke gawang, tapi soal cara seorang pemain mengelola tekanan, menakar risiko, dan mengarahkan strategi.
Kalau pemainnya terlalu sombong dan terlalu percaya diri, atau malah panik, tendangan itu bisa saja meleset. Padahal posisinya sudah sangat menguntungkan.
Sama halnya dengan oknum pejabat rakus, mereka punya posisi strategis, sumber daya, dan kekuasaan yang bisa digunakan untuk banyak hal baik. Tapi saat orientasinya salah dan keputusan diambil hanya untuk kepentingan pribadi, peluang besar itu malah jadi bumerang.
Bayangkan situasi pinalti ini terjadi di sebuah pertandingan final. Semua orang menonton, tekanan memuncak. Di sinilah seorang penendang pinalti, seperti pejabat yang punya kuasa dan akan diuji. Apakah dia akan memanfaatkan momen ini dengan bijak, atau malah mengacaukannya?
Dalam sepak bola, kegagalan mencetak gol di momen krusial bisa meruntuhkan kepercayaan tim, mempengaruhi mental pemain lain, dan bahkan bikin kalah dalam pertandingan.
Sama halnya dengan pejabat yang buat keputusan ngawur, kebijakan yang mereka ambil bisa berdampak negatif untuk masyarakat. Dan dalam skala besar kepercayaan publik hilang, ekonomi terpuruk, dan akhirnya yang menderita adalah rakyat biasa.
Nah, pemain sepak bola yang punya skill tapi nggak punya strategi sering kali berakhir gagal di titik pinalti.
Mereka pikir kalau mereka cukup kuat dan cepat, itu saja sudah cukup. Padahal, pinalti butuh perhitungan matang, kemampuan membaca gerakan lawan, serta kesadaran kapan harus menendang dengan keras atau cukup pelan.
Lebih lucunya lagi, kadang ada juga pemain yang menganggap enteng situasi pinalti ini dan malah coba-coba trik aneh.
Misalnya, bukannya menendang dengan teknik, mereka malah pura-pura menunggu kiper bergerak dulu. Kalau berhasil, mungkin terlihat keren. Tapi kalau gagal? Jadi bahan lelucon.
Begitupun dengan oknum-oknum pejabat yang berotak kosong. Mereka mungkin punya kekuatan (entah itu dana besar atau jaringan politik), tapi kalau tidak punya visi yang jelas, hasilnya nol besar. Bukannya membawa perubahan positif, mereka justru menciptakan kebijakan yang setengah matang atau bahkan merusak.
Dan oknum pejabat rakus juga sering melakukan hal yang sama. Mereka pikir bisa “mengelabui” rakyat dengan janji-janji manis atau kebijakan populis. Tapi ketika orang sadar bahwa semua itu cuma tipu daya, reputasi mereka langsung jatuh.
Sama seperti pemain yang gagal mengeksekusi pinalti dengan gaya, mereka jadi terlihat bodoh dan akhirnya malah merugikan dirinya sendiri. Dan yang lebih ironis, terkadang para pejabat ini lupa bahwa mereka diawasi banyak orang, sama seperti pemain yang akan melakukan tendangan pinalti di bawah sorotan ribuan pasang mata di stadion dan jutaan penonton di rumah.
Dalam sepak bola, tekanan ini bisa bikin pemain yang nggak punya mental kuat langsung grogi dan kehilangan fokus. Pun pejabat yang nggak punya integritas juga seperti itu. Mereka mungkin merasa aman di balik kekuasaan dan jabatan, tapi sekali keputusan salah diambil, publik langsung bereaksi entah itu lewat protes, berita, atau media sosial.
Jadi, kalau kita kaitkan fenomena pejabat rakus dan berotak kosong dengan filosofi pinalti, intinya adalah soal bagaimana seseorang menggunakan peluang besar yang diberikan padanya.
Kedua konteks ini, kuncinya adalah keseimbangan antara kekuatan, strategi, dan tanggung jawab-sesuatu yang sering dilupakan oleh pejabat rakus dan berotak kosong. (*)