Oleh : dr. Sinta Prima Wulansari.
BINTANGPOST : RUU PKS telah melalui jalan panjang. Awalnya, aturan ini diinisiasi Komnas Perempuan sejak 2012 menyusul kondisi Indonesia yang darurat kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Sekitar empat tahun lamanya Komnas Perempuan membujuk DPR agar membuat payung hukum soal kekerasan seksual. Baru pada Mei 2016, Komnas Perempuan diminta untuk menyerahkan naskah akademik payung hukum tersebut.
Pro kontra tentangnya telah berlangsung selama bertahun-tahun, belum selesai dibahas sampai akhirnya berganti nama menjadi RUU TPKS dengan berbagai pertimbangan. Itupun menuai tuntutan dari berbagai pihak mengenai substansinya.
Sungguh proses pembuatan Undang-undang yang sangat lama hanya untuk sebagian kecil persoalan sosial masyarakat. Padahal, pada saat yang sama, kasus kekerasan seksual juga terus berjalan dan bertambah. Sampai kapan masyarakat bisa mendapatkan aturan yang jelas tentangnya?
Belum lagi definisi kekerasan seksual yang sangat luas, mulai dari kekerasan yang bersifat fisik hingga pemikiran yang justru bisa menjadi pembiaran seseorang melakukan penyimpangan terkait perilaku dan fungsi reproduksinya. Untuk memberikan standar penilaian benar atau salah, bila diserahkan kepada akal manusia maka akan sangat subjektif dan setiap orang akan menuntut kebebasannya. Ujung-ujungnya adalah munculnya banyak permasalahan sosial.
RUU PKS/TPKS ini hanya berkaitan dengan permasalahan yang bersifat hilir, yakni ketika sudah terjadi kekerasan seksual, namun tidak menyentuh masalah pangkalnya, yakni konsep yang benar terkait interaksi antara lelaki dan perempuan. Islam sebagai ideologi yang sudah digariskan Allah SWT, Sang Pencipta manusia, telah mengatur dengan detil bagaimana konsep pergaulan umat manusia. Islam memperbolehkan lelaki dan perempuan berinteraksi dengan tujuan tolong-menolong. Hubungan yang bersifat khusus hanya diperbolehkan dalam ikatan pernikahan dan mahram.
Islam juga mengatur dengan rinci apa saja hak dan kewajiban setiap gender sesuai dengan posisinya. Sejarah masyarakat dalam peradaban kekhilafahan Islam menunjukkan betapa perempuan sangat dimuliakan dan lelaki juga memiliki kehormatan. Keduanya tidak saling melecehkan karena sanksi yang tegas bagi pelanggar syariat. Sehingga tak perlu ada perjuangan menuntut kesetaraan, karena Islam telah mewujudkan keadilan.
Dalam melegalisasi suatu aturan, sistem Islam sungguh efektif dan efisien. Hak tersebut cukup ada di tangan khalifah. Para ahli atau tokoh umat dapat memberi masukan kepada khalifah dalam merumuskannya. Tentunya semua didasarkan kepada al Qur’an, as Sunnah, Ijma dan Qiyas. Sehingga tak butuh waktu bertahun-tahun dan menghabiskan anggaran yang besar karena tarik ulur yang tak berkesudahan, padahal kasusnya terus berjalan. Sungguh siapapun yang paham perkara ini akan merindukan untuk hidup dalam sistem Islam kaffah.
Wallahu a’lam.