Kampus Merdeka Intelektual Tersandera

Kampus Merdeka Intelektual Tersandera .

Oleh: Tias Windi Alvita
BINTANGPOST : Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim meluncurkan empat program kebijakan untuk perguruan tinggi. Program yang bertajuk "Kampus Merdeka" ini merupakan kelanjutan dari konsep "Merdeka Belajar" yang diluncurkan sebelumnya.

"Perguruan tinggi di Indonesia harus menjadi ujung tombak yg bergerak tercepat, karena dia begitu dekat dengan dunia pekerjaan, dia harus yang berinovasi tercepat dari semua unit pendidikan," ujar Nadiem di Gedung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. (Tempo.com, 25/1/2020).

Apa saja program kampus merdeka itu? Pertama, kemudahan membuka program studi baru untuk menjawab kebutuhan industri. Kampus dengan akreditasi A dan B dapat diberikan izin untuk membuka prodi baru asalkan bekerja sama dengan pihak ketiga yaitu pelaku industri kelas dunia, organisasi nirlaba kelas dunia, BUMN dan BUMD, atau top 100 world universities berdasarkan QS ranking.
Kerja sama itu meliputi penyusunan kurikulum, program magang, dan perjanjian kerja sama dari sisi rekrutmen. 

Kedua, perubahan sistem akreditasi kampus. Program akreditasi nantinya bersifat otomatis untuk seluruh peringkat dan sukarela bagi perguruan tinggi dan prodi yang siap naik peringkat. Adapun akreditasi yang ditetapkan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi tetap berlaku lima tahun dan akan diperbarui otomatis. Bagi prodi yang dapat akreditasi internasional, akan secara otomatis mendapatkan akreditasi A dari pemerintah dan tidak harus melalui proses lagi di nasional, kecuali jika ada aduan masyarakat, penurunan jumlah mahasiswa yang masuk, atau peningkatan jumlah pengangguran lulusan perguruan tinggi atau prodi tersebut, pemerintah berhak lakukan reakreditasi. Ketiga, mempermudah Kampus Negeri menjadi Badan Hukum. Keempat, mahasiswa boleh kuliah 3 semester di prodi lain. 

Setali tiga uang, Wakil Presiden Ma'ruf Amin meminta lembaga pendidikan lebih jeli melihat kebutuhan dunia industri agar tidak banyak sarjana yang menganggur. "Saat ini banyak sarjana yang belum terserap jadi tenaga kerja andal. Hal ini akibat tidak jelinya lembaga pendidikan menangkap kebutuhan pasar tenaga kerja," kata Ma'ruf dalam sambutannya di acara wisuda sarjana strata satu angkatan ke XXIII Sekolah Tinggi Agama Islam Shalahuddin Al-Ayyubi, di Gedung Serbaguna I, Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Ahad, 26 Januari 2020. (Tempo.com, 28/1/2020)

Kebijakan baru yang diluncurkan oleh Mendikbud kali ini semakin mengalihfungsikan intelektual dicetak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pasar. Kolaborasi 3 in 1 antara kampus, perusahaan, dan pemerintah menjadikan pemerintah hanya sebagai regulator. Sedangkan, perusahaan dengan leluasa menjadi penentu berbagai kebijakan sesuai kebutuhan pasar, melalui keterlibatannya dalam pembuatan kurikulum. Industri yang menjadi basis pengembangan berbagai program studi, membuktikan bahwa kampus nantinya akan dijadikan pusat pengembangan berbagai penemuan yang sesuai dengan kebutuhan industri, bukan masyarakat. Hasilnya, intelektual dicetak untuk menopang perputaran roda kapital, berinovasi untuk kemajuan industri. Sedangkan masyarakat, sudah pasti menjadi target pembeli atas inovasi yang ditemukan. 

Jika intelektual menjadi inovator bagi kebutuhan industri, maka bisa dipastikan masyarakat akan kehilangan problem solver bagi permasalahannya.
Padahal sejatinya, posisi intelektual dalam islam adalah problem solver bagi masalah umat. Ketika masyarakat membutuhkan bantuan untuk mengatasi permasalahan, misalnya di bidang pertanian, di bidang kesehatan, maka intelektual kampuslah harapan mereka. Intelektual selama ini diharapkan mampu menjadi garda terdepan untuk menjadi problem solver, ketika kembali ke masyarakat. Intelektual menjadi tempat bertanya bagi masyarakat. 
Mu’adz bin Jabal berkata: “Tuntutlah ilmu, karena mempelajarinya adalah sebuah kebaikan, mencarinya adalah ibadah, mendialogkannya merupakan tasbih, mengkajinya adalah jihad, mencurahkan kemampuan untuknya merupakan taqarrub.Dan mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahuinya sebagai sebuah shadaqah”
Kampus pun seharusnya menjadi pusat penelitian untuk mencari solusi terbaik bagi masalah negeri ini. 

Namun, akibat dari diterapkannya sistem kapitalisme saat ini, intelektual menjadi tersandera oleh kepentingan para pemilik modal. Di tengah ekonomi yang makin sulit, intelektual kampus tak jarang hanya berorientasi profit dari hasil pendidikannya. Tersanderanya intelektual ini karena adanya legalisasi oleh negara, yang menggadaikan peran kampus yang semestinya. Negara berlepas tangan dalam memberdayakan intelektual, sehingga membuka peluang sebesar-besarnya bagi pengusaha, baik swasta maupun asing untuk mengelolanya. Padahal seharusnya pemerintah bertanggung jawab penuh atas urusan rakyatnya. 
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).

Saatnya negara mengembalikan fungsi intelektual sesuai islam, dengan menjadikannya problem solver bagi masyarakat, bukan sekedar komoditas yang diperjualbelikan demi keuntungan semata. 
Allahu a'lam

Bintangpost.com

Reporter bintangsaburai.com region Bandar Lampung.

Administrator

bintangsaburai.com

Leave a Comment