Perceraian Tinggi Ulangan Sejarah

Perceraian Tinggi Ulangan Sejarah foto :Deasy Rosnawati, S.T.P (Pemerhati Perempuan Keluarga dan Generasi).

Oleh Deasy Rosnawati, S.T.P (Pemerhati Perempuan Keluarga dan Generasi)

BINTANGPOST : Metro adalah kota yang memiliki keberhasilan dalam pembangunan gender. Terbukti ia berhasil meraih penghargaan Anugerah Parahita Ekapraya (APE) tahun 2018 katagori pratama. Selain itu, Indeks Pembangunan Gender (IDG) kota Metro, berdasarkan data tahun 2017 juga tertinggi se-provinsi Lampung. Tapi anehnya, angka perceraian di Kota Metro terus bertambah. Di periode awal Tahun 2019 saja, Pengadilan Agama (PA) Kota Metro kelas 1 A, telah menerima 333 kasus. Demikian diungkapkan oleh Wakil Panitera PA Metro, Hj. Soleha, S.Ag., M.H., kamis (21/3/2019). Beliau pada saat itu juga menjelaskan bahwa, PA Metro lebih banyak menerima kasus cerai gugat dari pada cerai talak. (radarlampung.co.id).

Apa yang terjadi di kota Metro dan kota-kota lain di Indonesia, sesungguhnya sejarah yang berulang. Amerika serikat, tempat lahirnya gerakan feminisme gelombang kedua, yaitu gerakan yang mengusung paham kesetaraan gender, juga menuai naiknya angka perceraian hingga seratus persen dalam kurun waktu 12 tahun sejak kemunculan gerakan tersebut.

Menuding kesetaraan gender sebagai biang tingginya angka gugat cerai sesungguhnya bukan tanpa alasan. Untuk memahaminya, kita harus melakukan penelusuran sejarah. Dan dalam sejarah, gerakan feminisme tercatat sebagai antitesa dari ketertindasan kaum perempuan Eropa abad silam. Bayangkan, masyarakat Eropa bahkan pernah menerapkan tradisi menjual istri.

Dalam sebuah karya berjudul Wives for Sale : Ethnographic Study of British Popular Divorce, Samuel Pyeatt Menefee menuturkan, para suami yang sudah tidak mengingini istrinya, mula-mula mengumumkan penjualan tersebut di media cetak. Setelah orang tahu, dijuallah para istri tersebut di tempat pelelangan. Ironisnya, para wanita yang dijual ini dijejerkan dalam sebuah panggung, dengan tali yang mengikat di leher mereka, sementara ujung tali dipegang suaminya. Tradisi ini berlangsung sejak akhir abad 17 hingga abad 19 M. 

Hinanya pandangan masyarakat Eropa terhadap kaum perempuan, penyebabnya adalah paham materialistik. Yaitu paham yang menjadikan materi sebagai ukuran untuk menilai derajat seseorang. Karena kaum perempuan berkecimpung di sektor domestik yang tidak menghasilkan materi, maka derajat kaum perempuan tidak ada nilainya sama sekali ketika itu.

Revolusi industri yang terjadi di Inggris tahun 1750 memicu kaum perempuan keluar rumah untuk bekerja di pabrik-pabrik demi membuktikan kemampuannya menghasilkan materi. Bersamaan dengan itu, muncullah gerakan menuntut persamaan dengan laki-laki dalam beberapa hak; yaitu hak pilih, hukum dan politik. Setelah tuntutan hak tersebut terpenuhi, gerakan feminis ini meredup sepanjang terjadinya perang dunia I dan perang dunia II. Lalu, pada tahun 1963, muncul kembali gerakan feminisme gelombang kedua di Amerika.

Gerakan feminis, baik gelombang pertama maupun kedua, memiliki kesamaan. Yaitu antitesa dari ketertindasan perempuan. Semangat yang diusung pada intinya tetap materialistik. Mengukur derajat manusia dengan besaran materi yang dihasilkan. Kalau sebelumnya kaum perempuan tertindas karena tidak menghasilkan materi, maka feminisme mengajak kaum perempuan untuk mandiri meraih materi, demi melawan arogansi laki-laki.

Dan perjuangan itu membuahkan hasil. Gerakan feminisme, seruan kesetaraan gender berhasil merubah keadaan kaum perempuan. Namun sayang, perubahan tersebut hanya membalik keadaan Eropa masa silam. Bila di masa silam kaum perempuan tertindas oleh arogansi laki-laki, akibat paham materialistik. Maka, dengan tingginya angka gugat cerai, kita bisa sama-sama melihat bahwa hari ini, justru kaum perempuan lah yang menjadi arogan terhadap laki-laki. Dan penyebab arogansinya sama, akibat paham materialistik.

Potret buram perempuan Eropa, tentu kita tak ingin itu terulang. Namun, arogansi perempuan atas laki-laki juga bukan cita-cita kita. Sebab Allah menciptakan masyarakat terdiri atas laki-laki dan perempuan. Yang justru keselarasan ta’awwun (kerjasama) antar keduanya lah kunci yang akan menghasilkan kemajuan peradaban. Oleh karena itu, kita membutuhkan penataan ulang sistem sosial kita dengan sistem yang mampu menghadirkan keselarasan tersebut. Dan sistem yang dimaksud hanyalah islam.

Islam adalah sistem yang unik. Karena ia menjadikan pernikahan sebagai ibadah. Dalam islam, seorang suami sejatinya sedang beribadah kepada Allah, saat ia mencurahkan segenap upaya untuk memenuhi nafkah kaluarganya. Maka ia akan dengan suka rela menjalaninya. Begitu pun istri, sejatinya ia sedang menjalani ibadah, ketika menjalani fungsinya sebagai ibu dan pengatur rumah. Maka ia pun dengan senang hati menjalaninya. 

Karena masing-masing menjalaninya sebagai bentuk ibadah, maka lenyaplah arogansi masing-masing pada pasangannya. Bahkan mereka berdua justru akan merasa rugi bila menjalani tanggungjawabnya setengah hati dan ‘asal-asalan’. Suami merasa rugi bila tidak optimal dalam mencari nafkah. Istri juga merasa rugi bila tidak menjadi ibu dan pengatur rumah profesional. Dan luarbiasa. Justru dengan seperti itulah keselarasan pemenuhan hak suami istri dapat tercapai. Dan rumah pun berhias sakinah (ketenangan), mawaddah (penuh cinta) dan rahmah (penuh kasih sayang)

Selanjutnya, islam juga menjadikan perceraian sebagai ibadah, hingga tidak bisa dijatuhkan sesuka hati atau diminta sesuka hati. Karena sebagai sebuah ibadah, perceraian dan gugat cerai memiliki tata cara yang harus dilewati.

Dengan pengaturan seperti ini, terjagalah kelanggengan pernikahan dan terjauhkanlah pernikahan kaum muslimin dari prahara perceraian. Karena bagaimanapun juga, fenomena maraknya perceraian adalah malapetaka peradaban.

Wallahua’lam.


Bintangpost.com

Reporter bintangsaburai.com region Bandar Lampung.

Administrator

bintangsaburai.com

Leave a Comment