Penjara Tak Membuat Jera

Penjara Tak Membuat Jera Foto Ilustrasi.


Oleh Deasy Rosnawati, S.T.P

BINTANGPOST : Mantan Kapolsek Cipondoh, Bayu Suseno, membongkar kabar tentang adanya ‘bilik asmara’ di Lembaga pemasyarakatan (Lapas/LP) Rajabasa. Ia mengunggah di Twitter dan Facebook, Sabtu (28/4/2018), bahwa napi bebas menyewa bilik asmara tersebut. Belum hilang keterkejutanmasyarakat atas berita bilik asmara di Lapas Rajabasa, pada awal Mei masyarakat kembali dikejutkan dengan berita terungkapnya peredaran narkoba di Lapas Kalianda.

Dua berita ini seakan ingin menunjukkan kepada kita sebuah bukti betapa tidak efektifnya penjara sebagai sebuah sanksi hukum. Jangankan membuat jera para pelaku kejahatan, penjara malah menjadi tempat dilakukannya kejahatan-kejahatan lain. Bahkan melibatkan aparat dan pegawai sipir. Penjara jauh dari harapan dijatuhkannya sanksi hukuman. Bahwa semestinya, sebuah sanksi hukuman mampu memaksa pelakunya menyesali perbuatannya, bertaubat, memperbaiki diri, untuk bisa kembali menjalani kehidupan dengan baik di masyarakat.

Padahal, Indonesia sebagai Negara yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM), sangat mengandalkan penjara dan denda sebagai sanksi hukum untuk menghentikan kejahatan, memberi rasa aman dan menciptakan keadilan. Sebab kedua sanksi inilah yang dipandang paling sejalan dengan konsep HAM.

Sementara itu, hukuman mati meski tercantum dalam KUHP sebagai salah satu ancaman hukuman untuk kejahatan yang sangat serius, akan tetapi pada kenyataannya sangat jarang dijatuhkan, karena alasan HAM

Berikut gambaran sanksi penjara di negeri ini. Pembunuhan misalnya, ancaman sanksinya berdasarkan pasal 338 KUHP maksimal 15 tahun penjara. Sementara pembunuhan berencana, ancaman hukumnya penjara seumur hidup atau penjara maksimal 20 tahun atau hukuman mati. Lalu, ibu yang membunuh bayinya secara terencana hanya terancam hukuman maksimal 9 tahun. Dst.

Lalu untuk pelaku impor, ekspor dan penyalur narkoba, ancaman hukumnya penjara mulai dari 3 tahun hingga 5 tahun dan denda mulai dari 5 miliar rupiah hingga 10 miliar rupiah. Sementara pengguna narkoba, meski positif dari tes urinnya, bila saat ia ditangkap tidak terbukti membawa narkoba atau membawa narkoba dalam jumlah kecil yaitu dibawah 0,5 gram; maka ia tidak terjerat hukum sama sekali. Ia hanya diharuskan melakukan rehabilitasi.

Inilah gambaran sanksi hukum yang berlaku di negeri ini. Sebuah sanksi yang dipandang menjunjung tinggi HAM bagi para pelaku kejahatan. Namun kenyataannya melanggar HAM masyarakat secara umum, untuk menikmati hak keamanan. Karena ketika sebuah sanksi sama sekali tidak menjerakan, dan tidak menimbulkan efek takut bagi calon pelaku kejahatan berikutnya, maka kejahatan akan terus tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat. Yang dengan hal itu, masyarakat menjadi kehilangan hak mereka dalam menikmati keamanan.

Kondisi ini tidak pernah terjadi dalam masyarakat yang menerapkan islam. Sejarah membuktikan bahwa ketika islam diterapkan selama 1300 tahun, jumlah kejahatan di seluruh wilyah khilafah, yang membentang seluas dua per tiga dunia, hanya 200 kasus saja. Mari kita lihat gambaran sistem sanksinya.

Ada tiga katagori sanksi yang diterapkan. Pertama, hudud yang bermakna batas. Adalah sanksi untuk pelanggaran tertentu yang telah ditentukan hukumannya disisi Allah, tanpa ada sedikit pun pertimbangan manusia. Perkara-perkara hudud adalah mencuri dengan kadar minimal seperempat dinar (1 dinar = 4,25 gram emas) dihukumi potong tangan. Berzina dihukumi rajam bagi muhson (yang telah menikah) dan cambuk 100 kali bagi ghoiru mukhson (yang belum menikah). Peminum khamr dicambuk 80 kali. Homoseksual dibunuh. Murtad, wajib diingatkan selama 3 hari, bila tetap membangkang maka dibunuh. Menuduh orang lain berzina tanpa mampu mendatangkan 4 orang saksi, sang penuduh akan dijatuhi 80 kali cambukan. Dan perkara terakhir adalah hirobah (pembegal), sanksinya dibunuh atau disalib atau dipotong tangan kanan dan kiri secara bersilang atau diusir.

Kedua, Jinayat yang bermakna penganiayaan atas badan. Ketentuan hukumnya qishash yaitu balasan setimpal. Seorang pembunuh, sanksinya dibunuh. Seorang yang melukai anggota badan, sanksinya dilukai anggota badan yang sama dst. Dalam perkara jinayat, korban atau keluarga korban memiliki hak memaafkan. Namun pemaafan tersebut harus dibalas dengan diyat (denda). Seorang pembunuh yang disengaja misalnya, bila dima’afkan, wajib membayar diyat berupa 100 ekor unta dengan 40 ekor diantaranya sedang hamil. Atau seorang penganiaya yang merontokkan gigi seseorang, bila dimaafkan, maka wajib baginya membayar diyat berupa 5 ekor unta pada setiap gigi yang dirontokkan tersebut. Dst.

Ketiga, Ta’zir yang bermakna hukuman edukatif. Diberlakukan bagi pelanggaran apa pun yang selain hudud dan jinayat. Kadar hukuman, ditentukan berdasarkan ijtihad khalifah. Keistimewaan sanksi dalam islam ini adalah, bahwa sanksi-sanksi ini ketentuannya datang dari Allah, kepastian hukumnya jelas. Hingga sulit bagi seorang hakim untuk menyalahi, sekaligus mudah bagi siapa pun rakyat untuk mengoreksi. Keistimewaan berikutnya, sanksi ini bersifat jawabir, yaitu sebagai penebus dosa pelaku. Artinya, seorang pelaku pelanggaran dan kejahatan akan diampuni dosa kejahatan tersebut, manakala ia dijatuhi sanksi. Tak mengherankan, bila kemudian para pelaku pelanggaran dan kejahatan, justeru akan dengan suka rela mendatangi hukuman. Sebagaimana yang dilakukan al-Ghomidiyah, seorang wanita yang mendatangi Rasul, mengaku telah berzina dan meminta agar Rasulullah SAW mensucikannya dengan menjatuhkan hukum rajam terhadapnya.

Keistimewaan ketiga, sanksi ini bersifat zawajir, yaitu pencegah. Allah sendiri yang menyebutkan dalam alqur’an surat al-Baqarah (2) ayat 179, “Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” Artinya, ketika seseorang melakukan tindakan jinayat berupa pembunuhan, lalu ia dibunuh, maka orang-orang setelahnya, akan takut melakukan kejahatan membunuh. Hingga kelangsungan hidup masyarakat terjamin.

Inilah ragam sanksi dalam Islam yang sangat efektif menghilangkan berbagai pelanggaran dan kejahatan. Inilah hukum yang berpihak pada korban, berpihak pada pelaku dan berpihak pada masyarakat secara bersamaan. Ia memberi keadilan bagi korban dan keluarga korban, menjadi penebus dosa atas pelanggaran dan kejahatan bagi pelaku, sekaligus menimbulkan rasa ngeri, hingga orang yang berniat melakukan kejahatan akan mengurungkan niatnya. Ketika penjara terbukti tidak mampu diharapkan menjadi solusi untuk menghilangkan kejahatan dan menciptakan rasa aman, maka tidak ada harapan tersisa kecuali pada sistem islam.

Wallahua’lam


Bintangpost.com

Reporter bintangsaburai.com region Bandar Lampung.

Administrator

bintangsaburai.com

Leave a Comment