Cara Islam Mengatasi Kemiskinan Oleh: Ruruh Anjar

Cara Islam Mengatasi Kemiskinan  Oleh: Ruruh Anjar Foto: ilustrasi.

BINTANGPOST : Hal yang sangat lumrah, jika menjelang pilkada terjadi kampanye dan debat calon kepala daerah dengan isu-isu sentral sekitar pembangunan, tak terkecuali isu kemiskinan. Angka penduduk miskin di berbagai wilayah menjadi topik pembahasan hangat untuk memperkenalkan visi misi para kandidat calon kepala daerah. Menurut Indria Samego, pengamat poliitk dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), isu ini masih dianggap efektif karena langsung dapat dirasakan masyarakat (CNNIndonesia.com, 21/4/2018).

Perhatian tentang kemiskinan tentu hal yang sangat baik karena berdasarkan data BPS pada September 2017 jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 26,58 juta atau 10,12%. Hanya saja angka ini tentu bukan jumlah yang sedikit, sehingga semestinya tak hanya diperuntukkan dalam tataran visi misi namun juga harus diselesaikan secara tuntas. Permasalahan yang paling mendasar dalam urusan ini adalah dengan diterapkannya sistem kapitalisme.  Di dalam sistem ekonomi kapitalisme yang dianut di Indonesia dan dunia, angka kemiskinan akan selalu berteman dekat dengan kesenjangan. Angka kemiskinan pun acap kali dijawab hanya dengan pertumbuhan ekonomi yang bersifat makro, bukan dijawab dengan keberhasilan memenuhi kebutuhan pokok (hajatul udhowiyah) manusia secara hakiki. Di dalam sistem ini asas yang dibangun adalah kebebasan baik  kebebasan kepemilikan harta, kebebasan pengelolaan harta maupun kebebasan konsumsi. Tidak ada standar kebenaran yang mutlak sehingga sebenarnya asas kebebasan ini menjadi tidak layak. Misalnya bisnis prostitusi, meskipun secara materi dianggap menguntungkan sejatinya ia jelas melanggar norma agama dan merusak masyarakat.

Sementara itu, untuk menopang kebebasan kepemilikan harta dan pengelolaannya maka dilakukan cara-cara sebagai berikut: (1) sistem perbankan dengan suku bunga (ribawi); (2) berkembangnya sektor non-riil dalam perekonomian sehingga melahirkan institusi pasar modal dan perseroan terbatas; (3) utang luar negeri yang menjadi tumpuan dalam pembiayaan pembangunan; (4) penggunaan sistem moneter  yang diterapkan diseluruh dunia yang tidak disandarkan pada emas dan perak; dan (5) privatisasi pengelolaan sumberdaya alam oleh segelintir pemilik modal yang seharusnya menjadi milik dan kebutuhan publik. Kondisi ini melahirkan banyak kerusakan, tidak hanya di sisi sumberdaya alam tetapi juga kemiskinan dan kesenjangan yang semakin lebar.

Islam Sebagai Solusi Tuntas

Perkara ini akan terus terjadi manakala orientasi kehidupan adalah materi, Kapitalisme yang merupakan buah dari sekulerisme, takkan pernah membiarkan agama masuk ke ranah publik secara menyeluruh. Jika menurut akalnya agama dianggap menguntungkan, maka ia akan digunakan tetapi jika tidak maka ditinggalkan. Terbukti bahwa ayat tentang zakat digunakan, namun ayat tentang larangan riba tidak digunakan. Padahal Allah jelas memerintahkan dalam Alquran surat Al-Baqarah: 208 agar masuk ke dalam Islam secara keseluruhan (kaffah), bukan sebagian-sebagian saja. Islam bukanlah sekedar ibadah ritual tetapi merupakan sistem aturan hidup yang benar dan sempurna bagi seluruh manusia.  

Oleh sebab itu, Islam memandang persoalan ekonomi adalah persoalan yang sangat penting, dan tidak terpisah dengan bidang-bidang kehidupan yang lain. Di dalam sistem ekonomi Islam maka tujuan yang hendak dicapai adalah memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok setiap warga negara (muslim dan non-muslim) sekaligus mendorong mereka agar dapat memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kecukupannya. Dengan demikian titik berat sasaran pemecahan permasalahan dalam ekonomi Islam terletak pada permasalahan individu manusia, bukan pada tingkat kolektif (negara dan masyarakat). Selain itu pengelolaan sumber daya alam yang memenuhi hajat hidup orang banyak diserahkan kepada Negara untuk kepentingan rakyat, bukan dikelola swasta maupun segelintir pemilik modal. Dari sinilah kemudian indikator kemiskinan/kesejahteraan diukur, yaitu berdasarkan pemenuhan kebutuhan masing-masing warga Negara yang disandingkan dengan kehidupannya di bidang sosial, pendidikan, keamanan, dan bidang lainnya, bukan sekedar angka pertumbuhan ekonomi.

Penerapan sistem Islam ini, salah satunya dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khathab. Beliau pernah berkata kepada pegawainya yang bertugas membagikan shadaqah, “Jika kamu memberikan, maka cukupkanlah”, selanjutnya beliau berkata lagi, “Berilah mereka itu sedekah berulangkali sekalipun salah seorang di antara mereka memiliki seratus unta”. Beliau menerapkan politik ekonomi yang memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan primer rakyat. Beliau mengawinkan kaum muslim yang tidak mampu; membayar utang-utang mereka, dan memberikan biaya kepada para petani agar mereka menanami tanahnya. 

Kondisi seperti ini terus berlangsung hingga masa Daulah Umayah di bawah pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pada saat itu, rakyat sudah sampai pada taraf hidup ketika mereka tidak memerlukan bantuan harta lagi. Pada tahun kedua masa kepemimpinannya, Umar bin Abdul Aziz menerima kelebihan uang Baitul Mal secara berlimpah dari gubernur Irak. Beliau lalu mengirim surat kepada gubernur tersebut, “Telitilah, barang siapa berutang, tidak berlebih-lebihan dan foya-foya, maka bayarlah utangnya”. Kemudian, gubernur itu mengirim jawaban kepada beliau, “Sesungguhnya aku telah melunasi utang orang-orang yang mempunyai tanggungan utang, sehingga tidak ada seorang pun di Irak yang masih mempunyai utang, maka apa yang harus aku perbuat terhadap sisa harta ini?” Umar bin Abdul Aziz mengirimkan jawaban, “Lihatlah setiap jejaka yang belum menikah, sedangkan dia menginginkan menikah, kawinkanlah dia dan bayar mas kawinnya”. Gubernur itu mengirimkan berita lagi bahwa dia sudah melaksanakan semua perintahnya, tetapi harta masih juga tersisa. Selanjutnya, Umar bin Abdul Aziz mengirimkan surat lagi kepadanya, “Lihatlah orang-orang Ahlu adz-Dzimmah yang tidak mempunyai biaya untuk menanami tanahnya, berilah dia apa-apa yang dapat menyejahterakannya.” Dalam kesempatan lain, Umar bin Abdul Aziz memerintahkan pegawainya untuk berseru setiap hari di kerumunan khalayak ramai, untuk mencukupi kebutuhannya masing-masing. “Wahai manusia! Adakah di antara kalian orang-orang yang miskin? Siapakah yang ingin kawin? Ke manakah anak-anak yatim?” Ternyata, tidak seorang pun datang memenuhi seruan tersebut.

Mencermati hal tersebut, maka seyogyanya para calon pemimpin/kepala daerah mencari solusi atas semua permasalahan pembangunan termasuk kemiskinan, dengan sistem Islam. Sistem ini terbukti selama 1.300 tahun dapat membawa peradaban gemilang dan dijanjikan Allah akan membawa keberkahan dari langit dan bumi.

Wallahu a’lam bish-shawaab(***).

Bintangpost.com

Reporter bintangsaburai.com region Bandar Lampung.

Administrator

bintangsaburai.com

Leave a Comment